TRIBUNNEWS.COM, BEIRUT - Pasca ledakan dasyat di Beirut Londong, Dewan Keamanan Tertinggi Lebanon langsung bertindak mencari pihak yang bertanggungjawab.
Meski belum ada tersangka spesifik, tapi sejumlah pejabat dianggap bertanggungjawab atas tragedi tersebut.
Sejumlah pejabat pelabuhan di Beirut, Lebanon, ditetapkan sebagai tahanan rumah buntut ledakan yang menewaskan lebih dari 100 orang.
Baca: Penuturan Mahasiswa Indonesia yang Berada 4 Km dari Lokasi Ledakan di Beirut
Pejabat pelabuhan dinilai sembrono mengawasi dan menyimpan barang dengan potensi meledak tersebut.
Status darurat selama dua pekan ditetapkan, dengan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang menjadi penyebab insiden.
Presiden Michel Aoun menyatakan, amonium nitrat itu disimpan secara tidak aman di dalam gudang, sehingga meledak dan memberikan kerusakan sangat besar.
Kepala bea cukai Badri Daher mengklaim, jajarannya sudah meminta kepada otoritas agar bahan kimia itu bisa dipindahkan, namun tak direspons.
"Kami menyerahkannya kepada pakar untuk mencari tahu penyebabnya," ulas Daher mengenai bahan kimia yang biasa digunakan untuk pupuk dan peledak.
Dalam pertemuan darurat, Aoun menuturkan tak ada yang bisa mendeskripsikan horor yang menghantam Beirut pada Selasa waktu setempat (5/8/2020).
Pakar di Universitas Sheffield, Inggris, menjelaskan ledakan itu mempunyai sepersepuluh kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima saat Perang Dunia II.
Meski begitu, ahli bersepakat bahwa ledakan yang juga melukai 5.000 orang itu merupakan "salah satu ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah".
Dilaporkan BBC Rabu (6/8/2020), amonium nitrat awalnya disimpan di gudang pelabuhan Beirut selama enam tahun setelah disita dari sebuah kapal pada 2013.
Baik kepala pelabuhan maupun bos bea cukai mengungkapkan, mereka sebenarnya sudah menulis surat kepada pengadilan beberapa kali.
Inti dari surat tersebut adalah mereka ingin bahan kimia itu dipindahkan maupun dijual kepada pihak tertentu untuk memastikan keselamatannya.