TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Belarusia Alexander Lukashenko mengklaim, pasukan keamanannya menyadap telepon Jerman dan mengungkapkan bahwa keracunan Alexei Navalny adalah hoaks.
Daily Mail melaporkan, kepada Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin, Lukashenko mengatakan, perbincangan antara Berlin dan Warsawa pada Kamis (3/9/2020), menunjukkan insiden tersebut settingan.
"Tidak ada yang meracuni Navalny," kata Lukashenko kepada Mishustin.
"Mereka melakukannya, untuk mencegah (Presiden Rusia Vladimir Putin) agar tak terlibat dalam urusan Belarusia," tambahnya.
Baca: Donald Trump Bungkam Ketika Para Pemimpin Dunia Menunggu Jawaban Vladimir Putin Soal Alexei Navalny
Baca: Terungkap Jenis Racun yang Dipakai Meracuni Pemimpin Oposisi Rusia Alexei Navalny
Lukashenko tidak memberikan rincian lebih lanjut tetapi mengatakan, dia akan menyerahkan transkrip ke layanan keamanan Rusia.
Sebelumnya, pemimpin lama Belarusia itu berada di bawah tekanan dari pengunjuk rasa yang menuntut pengunduran dirinya, setelah pemilihan presiden disengketakan pada 9 Agustus.
Selama berminggu-minggu, puluhan ribu orang turun ke jalan.
Aksi tersebut tercatat sebagai demo yang belum pernah terjadi sebelumnya, semenjak Lukashenko berkuasa.
Baca: Alexei Navalny Diduga Diracun dengan Racun Saraf Novichok, Apa Itu?
Lebih jauh, klaim tentang skandal Alexei Navalny ini dapat ditujukan untuk menjilat Moskow, yang menyuarakan dukungan untuk Lukashenko selama aksi tersebut.
Ajudan Navalny, Leonid Volkov dengan tegas menolak klaim tersebut dan menyebutnya 'konyol'.
Dia menuduh Perdana Menteri Rusia sebagai kaki tangan "percobaan pembunuhan" dan memiliki peran dalam 'sirkus' tersebut.
Para Pemimpin Dunia Mengkritik Insiden Alexei Navalny
Mengutip CNN, para pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel hingga Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengutuk insiden tersebut dan meminta jawaban dari pemerintah Rusia.
Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (2/9/2020), Angela Mekel menyebut Alexei Navalny sebagai korban kejahatan.
"Mereka ingin membungkamnya dan saya mengutuk in idengan sekuat tenaga, juga atas nama seluruh pemerintah federal," tegas Merkel.
"Ada pertanyaan yang sangat serius sekarang, yang hanya bisa dijawab oleh pemerintah Rusia," tambah Merkel.
"Nasib Alexei Navalny mendapat banyak perhatian di seluruh dunia. Dunia akan menunggu jawaban," katanya.
Baca: Jerman Ungkap Kritikus Presiden Vladimir Putin, Alexei Navalny Diracuni dengan Agen Saraf Novichok
Tanggapan Boris Johnson tak berbeda jauh dengan komentar Merkel.
"Pemerintah Rusia sekarang harus menjelaskan apa yang terjadi pada Navalny," bebera Johnson.
Masih dikutip dari Daily Mail, Ketua Uni Eropa Ursula von der Leyen mengutuk 'tindakan keji dan pengecut'.
Sementara Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengecam serangan itu sebagai 'mengejutkan dan tidak bertanggung jawab.'
"Rakyat Rusia memiliki hak untuk mengekspresikan pandangan mereka secara damai tanpa takut akan pembalasan apapun, dan tentunya tidak dengan agen kimia," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Ullyot.
Baca: Alexei Navalny Tiba di Berlin untuk Perawatan Medis, Kondisi Kesehatannya Mengkhawatirkan
Kepala NATO Jens Stoltenberg mengutuk penggunaan 'mengejutkan' dari zat saraf tingkat militer yang, katanya, membuat penyelidikan 'penuh dan transparan' oleh Rusia menjadi lebih mendesak.
Kementerian Luar Negeri Italia dan Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne juga mengutuk keracunan Navalny.
Lebih jauh dari Merkel, Roettgen mengatakan dia tidak percaya bahwa Novichok bisa diberikan tanpa sepengetahuan Kremlin.
“Kami membutuhkan tanggapan yang jelas dan Eropa. Perlu ketangguhan melawan Rusia, karena itulah satu-satunya bahasa yang dipahami Putin, '' katanya kepada televisi ZDF.
Baca: Kanselir Jerman Angela Merkel Minta Rusia Selidiki Dugaan Keracunan Alexei Navalny
Dia juga menyarankan bahwa keracunan Navalny dimaksudkan untuk mengintimidasi pengunjuk rasa di Belarus yang menuntut pengunduran diri diktator yang didukung Putin.
"Ini adalah intimidasi simultan terhadap penduduk (Rusia) sendiri dan juga di Belarusia," katanya.
Kremlin telah mengisyaratkan penggunaan kekuatan militer untuk menopang rezim Alexander Lukashenko di Belarus, yang telah menghadapi protes massal sejak pemilihan yang disengketakan bulan lalu.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)