Ia telah memenangkan dukungan politik dengan meraih 90 dari 128 suara di parlemen, Sky News mengabarkan.
Politikus 48 tahun itu segera menyerukan pembentukan pemerintahan baru dalam waktu singkat.
Ia juga menuntut reformasi cepat sebagai cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Lebanon dan internasional.
Baca: Presiden Prancis Emanuel Macron Kembali Kunjungi Beirut Lebanon
Baca: Presiden Macron Peringatkan Lebanon Bisa Terjerumus Lagi ke Perang Saudara
Sedikitnya 190 orang tewas dan 6.000 lainnya luka-luka dalam ledakan di Beirut pada 4 Agustus lalu.
Ledakan itu menyebabkan kerusakan luas di kawasan pemukiman dan komersial di ibu kota.
Perdana Menteri Hassan Diab dan seluruh pemerintahannya mengundurkan diri kurang dari seminggu kemudian.
Biasanya, pembentukan pemerintahan baru memakan waktu berbulan-bulan.
Namun penunjukan cepat Adib menunjukkan rasa urgensi oleh politisi tradisional Lebanon untuk mencoba menahan memburuknya posisi keuangan negara.
Dengan ekonomi Lebanon yang bertekuk lutut, sebagian besar Beirut hancur dan ketegangan sektarian meningkat, bekas protektorat Prancis itu dikatakan menghadapi ancaman terbesar bagi stabilitasnya sejak perang saudara 1975-90.
Penunjukan Adib dilakukan beberapa jam sebelum Presiden Prancis Emmanuel Macron dijadwalkan tiba untuk kunjungan dua hari di Lebanon.
Macron diharapkan dapat menekan para pejabat Lebanon untuk merumuskan pakta politik baru untuk mengangkat negara itu dari berbagai krisis.
Ia telah memimpin upaya internasional untuk mendorong Lebanon melakukan perubahan besar-besaran guna mengatasi krisis ekonomi.
Lebanon telah diminta untuk memberantas korupsi untuk mendapatkan lebih banyak dukungan keuangan.
Setelah penunjukannya oleh Presiden Lebanon Michel Aoun, Adib berkata:
"Kesempatan bagi negara kita kecil dan misi yang saya terima didasarkan pada semua kekuatan politik yang mengakui itu."
Adib mengatakan dia akan membentuk kabinet ahli dan bekerja dengan parlemen untuk menempatkan negara pada jalur perbaikan dan untuk mengakhiri drainase keuangan, ekonomi dan sosial yang berbahaya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)