TRIBUNNEWS.COM, YEREVAN - "Kami tetap kuat di samping tentara kami untuk melindungi tanah air kami dari invasi Azeri," tulis Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan di akun Twitternya dikutip Russia Today.
"Kami mempertahankan wilayah kami, tujuan kami benar!" kata Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dalam pidatonya yang disiarkan nasional. “Karabakh adalah Azerbaijan,” tegasnya di Baku, Mingu (28/9/2020).
Dua pernyataan keras bertolakbelakang itu melahirkan pertempuran baru, kelanjutan konflik bertahun sebelumnya antara Armenia dan Azerbaijan.
Azerbaijan menyebut wilayah yang disengketakan itu Nagorno-Karabakh. Orang Armenia menamainya Artsakh.
Serangan Besar Dimulai Pihak Azerbaijan
Perang terbuka dan intensif kedua kekuatan militer yang terletak dekat Republik Islam Iran ini pecah sejak 29 September 2020.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengklaim pasukan mereka telah merebut setidaknya 7 desa, yang terletak di dekat perbatasan Iran.
Baca: Armenia-Azerbaijan Perang, 16 Tentara dan Warga Sipil Tewas
Baca: Armenia Mobilisasi Militer Setelah Bentrokan dengan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh
Baca: Bentrok Pecah Antara Pasukan Armenia vs Azerbaijan, Nagorno-Karabakh Umumkan Darurat Militer
Pasukan Azerbaijan secara aktif menembaki posisi pasukan Armenia dan wilayah yang dikuasai oleh mereka, termasuk Stepanakert, ibu kota Republik Nagorno-Karabakh atau Republik Artsakh.
Hal membedakan pada konflik kali ini, Turki secara terbuka melibatkan diri membela Azeri atau Azerbaijan. Tak hanya politis, secara militer Presiden Erdogan mengirimkan tentara dan milisi.
Ratusan hingga ribuan petempur sipil didatangkan dari Turki dan Suriah. Mereka anggota kelompok proksi sipil Turki di Suriah.
Orang-orang sejenis juga dikirimkan Turki untuk bertempur di Libya, mendukung pemerintahan GNA Faisal Saraj di Tripoli.
Rekaman video yang dipublikasikan situs Southfront.org, namun belum diverifikasi, menunjukkan konvoi puluhan truk membawa petempur asal Suriah di Azerbaijan.
Campur tangan Turki di Azerbaijan, dan usahanya melawan Armenia ini mengingatkan isu genosida warga Armenia oleh penguasan Turki pada masa lalu.
Konflik di Nagorno-Karabakh atau Arzakh, kini menjadi perang proksi yang dimensi geopolitiknya sulit dilepaskan dari perimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Israel ikut melibatkan diri secara tidak langsung, karena berusaha memanfaatkan Azerbaijan untuk memonitor Iran, musuh besar Zionis.
Sejumlah drone produksi Israel, dipakai Azerbaijan untuk mengawasi Armenia. Beberapa di antaranya telah ditembak jatuh pasukan Republik Arzakh.
Pergeseran Isu dan Orientasi Politik Praktis
Meski pemerintahan Armenia diketahui pro-Washington, kini terjadi pergeseran politik setelah Yerevan berusaha meminta bantuan aktif Rusia menghadapi Azeri.
Armenia dan pemerintah Republik Arzakh (Nagorno-Karabakh) mengumumkan darurat militer dan mobilisasi militer. Azerbaijan pun memberlakukan aturan militer dan jam malam di kota-kota besar.
Secara terbuka, Armenia mendesak Turki tidak ikut campur dalam permusuhan yang sedang berlangsung atas daerah kantong Nagorno-Karabakh yang disengketakan.
"Perilaku agresif Turki adalah masalah serius yang harus diperhatikan," kata Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan lewat televisi nasional.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebelumnya mengatakan Azerbaijan, tidak sendirian dalam konfrontasi melawan Armenia.
Lewat akun Twitternya, Erdogan menyebut Armenia merupakan ancaman terbesar perdamaian dan keamanan di kawasan. "Kami menyerukan dunia untuk berdiri di samping Azerbaijan melawan pendudukan (Armenia). "
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di London lewat laporan 27 September mengklaim gelombang pertama militan Suriah tiba di Azerbaijan.
Para militan dilaporkan direkrut dari wilayah Afrin yang diduduki Turki di Suriah utara. Gaji bulanan antara $ 1.500 dan 2.000 ditawarkan kepada para militan.
Serangan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh dimulai setelah laporan militan Suriah dikirim ke negara itu. Beberapa hari mendatang kemungkinan akan mengungkap lebih banyak tentang masalah ini.
Pada 29 September, perang pecah di wilayah Kaukasus Selatan sejak konflik di Ossetia Selatan pada 2008.
Konflik 2008 dimulai setelah serangan Georgia di Ossetia Selatan, yang menyebabkan operasi Rusia dan kekalahan rezim Saakashvili yang didukung AS.
Akhir Kebuntuan Upaya Perundingan Politik
Perang 2020 ini menjadi hasil dari kebuntuan Armenia-Azerbaijan untuk wilayah Nagorno Karabakh. Pasukan Azerbaijan telah bergerak maju di Nagorno-Karabakh untuk memulihkan kendali mereka atas daerah tersebut.
Republik Nagorno-Karabakh sebenarnya telah menjadi negara merdeka de facto dengan mayoritas etnis Armenia yang didirikan atas dasar Nagorno-Karabakh Autonomous Oblast dari Republik Sosialis Soviet Azerbaijan sebagai akibat dari Perang Nagorno-Karabakh (Februari 1988 - Mei 1994).
Wilayah ini secara de facto dikuasai Armenia, sedangkan Azerbaijan masih berupaya memulihkan kendali atas wilayah tersebut.
Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev mengaku telah kehabisan kesabaran atas kebuntuan perundingan dengan Armenia.
“Kita harus memulihkan keadilan historis. Kami harus melakukan ini untuk memulihkan keutuhan wilayah Azerbaijan, ”kata Aliyev pada pertemuan Dewan Keamanan.
“Saya telah berulang kali mengatakan kami tidak akan pernah mengizinkan pembentukan negara kedua yang disebut "negara Armenia" di tanah Azerbaijan. Kami tidak akan pernah mengizinkan ini, dan acara hari ini menunjukkannya lagi," tambah Aliyev.
NATO dan AS meminta masing-masing pihak menghindari eskalasi dan kembali ke rezim gencatan senjata.
Karena alasan itu, kepemimpinan Armenia terpaksa meminta bantuan di Rusia, yang selama bertahun-tahun menjadi penjamin kedaulatan Armenia.
Pashinyan menelepon Presiden Vladimir Putin untuk membahas situasi di wilayah Nagorno-Karabakh. Namun, kecil kemungkinannya Rusia menggunakan tindakan militer aktif untuk mengakhiri gerak maju pasukan Azerbaijan.
Tapi jika pasukan Azerbaijan atau Azerbaijan-Turki memasuki Armenia, Rusia akan campur tangan dalam konflik tersebut untuk menyelamatkan keutuhan negara Armenia.
Muncul pertanyaan sekarang, mengapa Rusia memilih jalan tidak mencampuri krisis di Nagorno-Karabakh?
Lima Skenario Konflik Militer Nagorno-Karabakh
Jawabannya, kemungkinan pertama kepemimpinan Rusia telah menarik pelajaran dari kesalahan yang dibuat selama tindakan sebelumnya di negara bagian pasca-Uni Soviet, misalnya dari kegagalan mereka di Ukraina atau kegagalan parsial mereka di Georgia.
Jadi, non-intervensi Rusia juga bisa dikaitkan dengan kepedulian terhadap citra publiknya. Sudut pandang lain, strategi Rusia didasarkan pada pendekatan politik riil.
Dalam situasi regional saat ini, Rusia akan memperoleh pendapatan dari setiap perkembangan di Armenia. Berikut analisis kemungkinan konflik Armenia-Azerbaijan menurut Southfront.org;
1. Jika kepemimpinan baru Armenia mengubah arah kebijakan luar negeri negara, atau bahkan melanggar perjanjian pangkalan militer dengan Rusia atau menarik diri dari organisasi internasional yang dikendalikan Rusia, Azerbaijan akan kehilangan Nagorno Karabakh dan wilayah sekitarnya.
Pemulihan integritas teritorial adalah salah satu tugas utama kebijakan luar negeri dan militer Azerbaijan dan keluarga penguasa Aliyev. Turki, yang masih menjadi negara anggota NATO dan sekutu resmi AS, mendukung Azerbaijan dalam maksud ini.
2. Jika Armenia kehilangan dukungan Rusia dan konflik bersenjata di wilayah Nagorno Karabakh berlanjut, pasukan Azerbaijan kemungkinan akan menguasai wilayah ini dalam 1-2 minggu.
Tentu, AS akan menyuarakan protes terhadap tindakan Azerbaijan dan memberikan ultimatum kepada Azerbaijan tetapi hanya jika pasukannya masuk ke wilayah Armenia.
Dalam skenario ini, Rusia akan bertindak serupa dan kemudian, setelah krisis internal baru yang diperkirakan terjadi di negara yang dipicu oleh kekalahan militer, Rusia akan memulihkan pengaruhnya di wilayah tersebut.
Saat itu, masalah Nagorno Karabakh akan terselesaikan karena berada di tangan Azerbaijan, yang didukung oleh Turki, negara anggota NATO, dan mitra Rusia di kawasan itu.
3. Jika kepemimpinan baru Armenia menerapkan kebijakan standar ganda, secara de facto melakukan tindakan anti-Rusia tetapi tetap mempertahankan retorika publik pro-Rusia, Moskow akan mendapatkan alasan formal untuk membentuk kembali kehadirannya, pertama-tama militer, di wilayah tersebut.
Secara strategis, infrastruktur militer di Suriah jauh lebih penting bagi Rusia. Selain itu, Moskow akan mendapatkan alasan untuk mengalihkan retorika diplomatiknya atas masalah Nagorno Karabakh, sehingga mencapai kerja sama yang lebih erat dengan Turki dan Azerbaijan.
Jika dalam situasi ini, Azerbaijan memicu kembali konflik bersenjata di Nagorno Karabakh, Rusia akan tetap menjadi sekutu resmi Armenia dan penjamin integritas teritorialnya.
Moskow akan campur tangan dalam konflik baik secara politik maupun militer, tetapi hanya sejauh yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran perbatasan Armenia.
Rusia tidak akan menyumbangkan upaya militer untuk memulihkan kendali Armenia atas Nagorno Karabakh jika wilayah tersebut direbut oleh Azerbaijan.
Dalam skenario ini, Rusia akan mempertahankan dan bahkan mungkin memperkuat posisinya di kawasan itu sekali lagi bertindak sebagai pembela bangsa Armenia.
4. Jika kepemimpinan baru Armenia menunjukkan kesadaran politik dan terlibat tidak hanya dalam aliansi formal, tetapi juga dalam aliansi strategis yang nyata dengan Rusia, perkembangan hubungan ekonomi dan budaya dengan Barat tidak akan mengurangi aliansi ini.
Kemudian, konflik Nagorno Karabakh akan tetap membeku sampai pergeseran besar berikutnya dalam perimbangan kekuatan regional atau sampai penyelesaian politik dari konflik tersebut menjadi mungkin.
Rusia akan mempertahankan pengaruhnya saat ini dan mungkin akan lebih meningkatkan citra publiknya.
Meskipun Armenia mempertahankan kemitraan politik militer yang kuat dengan Rusia, kecil kemungkinan Azerbaijan akan melakukan upaya terbuka untuk melanjutkan permusuhan militer skala penuh.
5. Skenario yang paling tidak mungkin adalah Armenia akan sepenuhnya mengubah arah kebijakan luar negerinya dari AS dan meminta dukungan penuh dari sekutu "strategis" barunya.
Pangkalan militer Rusia akan digantikan pangkalan AS dan AS akan menjadi penjamin kemerdekaan Nagorno Karabakh atau setidaknya penjamin militer dari statusnya yang tidak ditentukan saat ini dalam kasus babak baru eskalasi militer dengan Azerbaijan.
Skenario ini sangat tidak mungkin. Tidak banyak yang ditawarkan Yerevan kepada Washington sebagai imbalan atas kemunduran hubungan AS dengan Azerbaijan dan Turki yang tak terhindarkan.
Pasukan AS sudah dikerahkan di wilayah tersebut, di Georgia. Pangkalan militer AS yang baru di Armenia tidak akan mengubah perimbangan kekuatan di Kaukasus Selatan dan Timur Tengah.
Secara ekonomi, Armenia juga tidak menawarkan apa-apa kepada AS. Jadi, satu-satunya kemungkinan tawaran Armenia adalah propaganda anti-Rusia yang terang-terangan dalam skenario Ukraina atau Inggris.
Dalam hal ini, Rusia akan beralih ke Azerbaijan, memperkuat aliansinya dengan Turki, secara aktif mengacaukan situasi di Armenia sendiri, menciptakan masalah tambahan bagi AS di kawasan itu.
Pada tahap ini, tampaknya kepemimpinan Armenia sedang melakukan penyeimbangan antara skenario 2 dan 3.
Ke depan, situasi akan berkembang tergantung pada tingkat pemikiran strategis kepemimpinan baru Armenia dan kelembaman situasi krisis yang diciptakan rezim Pashinyan di Yerevan, pendukung dan sponsornya untuk berkuasa.
Bagian Kelanjutan Arab Spring
Menganalisis situasi di Kaukasus Selatan, orang harus ingat “permainan hebat mungkin tidak akan pernah berakhir”.
Perubahan yang mungkin terjadi pada kebijakan luar negeri Armenia tentunya akan memicu perubahan dalam perimbangan kekuatan lokal.
Mengikuti fluktuasi yang tidak dapat dihindari, sistem akan kembali untuk menemukan keseimbangan sementara pada titik tertentu. Pertempuran besar akan berlanjut.
Beberapa analis Turki dan Rusia percaya jika Nagorno Karabakh kembali ke kendali Azerbaijan, sistem yang lebih stabil akan dibuat di wilayah tersebut.
Secara keseluruhan, krisis politik di Armenia hanyalah kelanjutan peristiwa “Musim Semi Arab” dan “revolusi beludru”.
Ini sekali lagi menegaskan pertumbuhan ekonomi global, demografi, budaya dan masalah peradaban paradigmatik dengan perkembangan peradaban selama 30 tahun terakhir.(Tribunnews.com/Southfront.org/RussiaToday/Sputniknews/Aljazeera/xna)