Omnibus Law ini ditujukan untuk merelaksasi jaringan bisnis yang kompleks, ketenagakerjaan dan hukum lingungan di Indonesia, dalam upaya untuk menarik investasi dan merangsang ekonomi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam wawancara Januari lalu mengatakan kepada BBC, Omnibus Law menghapus birokrasi dan membuka perekonomian untuk investasi asing.
"Kami ingin mempermudah (proses) perizinan dan birokrasi, kami ingin kecepatan, sehingga diperlukan harmonisasi hukum untuk menciptakan pelayanan yang cepat, pembuatan kebijakan yang cepat, agar Indonesia lebih cepat merespon setiap perubahan dunia," terang Jokowi.
Untuk dicatat, pada kuartal kedua tahun ini, ekonomi Indonesia, yang terbesar di Asia Tenggara dilaporkan menyusut 5,3 persen.
Baca: Reaksi Tommy Kurniawan saat Diserbu Netizen setelah Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja
Baca: Siswa SMA Kibarkan Bendera Merah Putih, Nyanyikan Lagu Padamu Negeri saat Demo Tolak Omnibus Law
Omnibus Law Bawa Perubahan Apa?
Lebih lanjut, selain menghapus birokrasi, Omnibus Law membuat perubahan signifikan pada peraturan ketenagakerjaan Indonesia.
Omnibus Law menghapus upah minimum.
Dengan diterapkannya Omninus Law, pesangon bagi karyawan akan dikurangi hingga maksimum 19 bulan gaji.
Tergantung pada berapa lama karyawan tersebut memiliki pekerjaan itu.
Sebelumnya pesangon yang diterima karyawan maksimal gaji 32 bulan.
Baca: Aksi Tolak Omnibus Law di Sambas Berlangsung Damai: Ketua DPRD Sanggupi Dialog Lewat Daring
Baca: 2 Mobil Polisi sampai Terbalik dan Puluhan Motor Rusak, Begini Situasi Demo Omnibus Law di Palembang
Kemudian, jam lembur yang diizinkan akan ditingkatkan menjadi maksimal empat jam dalam satu hari dan 18 jam seminggu.
Pelaku bisnis hanya memberi pekerja satu hari libur dalam seminggu, bukan dua hari.
Pembatasan outsourcing juga telah dikurangi, seperti halnya pembatasan pekerjaan di mana ekspatriat (pekerja asing) dapat bekerja.
Omnibus Law juga melonggarkan standar lingkungan, hanya memaksa bisnis untuk mengajukan analisis dampak lingkungan jika proyek mereka dianggap berisiko tinggi.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)