Samuel Paty, seorang guru sejarah di Prancis, tewas dipenggal pemuda berdarah Chechnya. Aksi ini menyodorkan fakta betapa paham radikal begitu dalam menyusupi bangsa Prancis. Omar Nasiri lewat bukunya “Inside The Jihad: A Spy’s Story”, menguak bagaimana kaum radikalis bekerja di Eropa. Banyak hal bisa dicegah, termasuk serangan maut 9/11 ke New York, jika saja Nasiri tak diremehkan.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Setelah menyelesaikan misi ke Maroko, Omar Nasiri menemui Gilles di Brussel. Kali ini Gilles mengajak seorang pria bernama Thierry.
Tak perlu butuh waktu lama, Nasiri yakin Thierry ini orang penting. Benar saja, ia ternyata orang dari Surete de l’Etat, dinas rahasia Belgia.
Thierry mengambil segepok foto dari tasnya, menghamparkan di meja. Ada foto-foto wajah yang tak asing lagi baginya. Sudah sering Gilles menunjukkan padanya.
Ada wajah Amin, Yasin, Hakim, beberapa pria yang datang pergi ke rumah keluarganya. Lalu sebuah foto dirinya bersama Nabil, adiknya.
Baca juga: Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)
Baca juga: Omar Nasiri Mendengar Rekaman Dramatis Detik-detik Serbuan Pembajak Pesawat Air France 8969 (2)
“Apa-apaan ini,” sembur Nasiri. “Kita telah membicarakan ini. Ini Nabil. Dia tak ada hubungannya dengan ini semua,” tegasnya. Gilles mencoba meredakan ketegangan.
“Oh tidak, tentu saja tidak. Foto itu tidak seharusnya di sini,” katanya sembari menyuruh Thierry menyingkirkan foto itu dari meja.
Nasiri paham, itu isyarat. Thierry dan Gilles hendak menyapu semua di rumahnya. Termasuk Nabil yang tidak tahu apa-apa, dan bukan tidak mungkin dirinya.
Omar Nasiri Tahu Dinas Intelijen Itu Kejam
Dinas intelijen itu menurut Nasiri, di manapun kejam, raja tega. Ia tahu, kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace diledakkan di Selandia Baru karena menghalangi tes nuklir Prancis.
Sesudah pertemuan itu, Nasiri berpikir keras apa yang harus dilakukan. Hingga di suatu hari, saat tubuhnya menggigil karena flu, Nasiri meminta waktu bicara dengan Amin, Yasin, dan Hakim.
“Aku telah bekerja dengan DGSE selama ini,” aku Nasiri. Ketiga pria itu terpaku diam. Hening. Hanya Hakim yang mulutnya berkomat-kamit cepat.
Nasiri beralasan, ia terlibat DGSE demi mereka, demi mujahidin. “Aku tahu aku dapat melakukannya lebih banyak jika aku terlibat di dalamnya,” kata Nasiri terus member dalih.
Ketiga orang itu tidak banyak bereaksi. Mereka berusaha bereaksi setenang mungkin. “Tatapan mereka lebar dan kosong, bagaikan mata mayat hidup,” ujar Nasiri.