TRIBUNNEWS.COM - CEO Facebook dan Twitter kembali diminta duduk di kursi panas Kongres Amerika Serikat terkait penanganan disinformasi dalam Pilpres AS 2020.
Senator Republik terkemuka Lindsey Graham menolak menyangkal klaim tak berdasar Donald Trump soal kecurangan dan penipuan pemungutan suara Pilpres AS 2020.
Graham, yang merupakan sekutu dekat Trump yang mengepalai Komite Kehakiman Senat, di mana para CEO bersaksi pada Selasa (17/11/2020), secara terbuka mendorong agar Trump tidak menyerah.
"Jangan menyerah, Presiden. Teruslah berjuang," kata Graham.
Mengutip Al Jazeera, baik CEO Facebook Mark Zuckerberg dan CEO Twitter Jack Dorsey berjanji kepada anggota parlemen bulan lalu, mereka akan secara agresif menjaga platfrom mereka agar tidak dimanupulasi kekuatan asing untuk menghasut penyimpangan hasil Pilpres.
Baca juga: Trump Sebut Biden Menang di Pilpres AS Karena Curang
Baca juga: Donald Trump Segera Keluar dari Gedung Putih, Deretan Kasus Ini Menunggu, Termasuk Pelecehan Seksual
Dua platfrom raksasa tersebut membuat akun berprofil tinggi marah karena menindaklanjuti unggahan mereka terkait Pilpres AS, seperti Trump dan pendukungnya.
Seperti diketahui, Twitter dan Faceebook sama-sama memberikan label informasi salah pada beberapa konten Trump,terutama pernyataannya yang menghubungkan pemungutan surat suara diklaim sebagai penipuan.
Pada Senin (16/11/2020), Twitter menandai twit Trump yang menyatakan "Saya memenangkan Pemilu!" dengan catatan ini: "Sumber resmi menyebut pemilihan ini secara berbeda."
Facebook juga bergerak dua hari setela Pilpres dengan melarang kelompok besar bernama "Hentikan Pencurian" yang digunakan pendukung Trump untuk mengorganisir protes terhadap penghitungan suara.
Kelompok beranggotakan 350.000 orang itu menggemakan tuduhan tak berdasar soal Trump tentang Pilpres yang curang sehingga hasilnya tidak valid.
Selama berhari-hari setelah pemilihan dan saat penghitungan suara berlangsung, kelompok peniru "Hentikan Pencurian" dengan mudah ditemukan di Facebook, mendekati 12.000 anggota pada pekan lalu.
Tapi pada Senin, mereka pernyataan tersebut telah 'diturunkan', terbukti pencarian untuk istilah tersebut tidak menemukan hasil.
Baca juga: Sebelum Lengser, Trump Sempat Berencana Serang Situs Nuklir Iran Pekan Lalu
Baca juga: Biden Peringatkan Bahaya Covid-19 Jika Transisi Pemerintahan AS Tidak Berjalan Lancar
Facebook dan Twitter Belajar dari Pilpres AS 2016
Lebih jauh, Facebook menegaskan, mereka belajar dari pemilu 2016 dan tidak lagi menjadi saluran untuk informasi yang salah, penindasan pemilih, dan gangguan pemilu.
Musim gugur ini, Facebook mengatakan telah menghapus jaringan kecil akun dan halaman yang ditautkan ke Badan Penelitian Internet Rusia, yang telah menggunakan akun media sosial untuk menyebarkan perselisihan politik di AS sejak Pilpres AS 2016.
Mengikuti kebijakan yang sama, Twitter menangguhkan lima akun terkait.
Tetapi orang luar yang kritis, serta beberapa karyawan Facebook sendiri, mengatakan, upaya perusahaan untuk memperketat pengamanannya tetap tidak mencukupi, meski telah menghabiskan biaya miliaran.
“Facebook hanya bertindak jika mereka merasa ada ancaman terhadap reputasi atau keuntungan mereka,” kata Imran Ahmed, CEO dari Center for Countering Digital Hate.
Organisasi tersebut telah menekan Facebook untuk menghapus grup "Hentikan Pencurian".
Baca juga: Transisi Tak Berjalan Lancar, Joe Biden Peringatkan Akan Ada Banyak Orang Meninggal akibat Covid-19
Baca juga: Sentimen Positif Pasar Terhadap Kemenangan Biden Memudar, Ini Imbasnya ke IHSG
Raksasa Teknologi Tak Terbukti Bias terhadap Informasi
Tidak ada bukti bahwa raksasa media sosial itu bias terhadap berita konservatif, postingan, atau materi lain, atau bahwa mereka mendukung satu sisi perdebatan politik daripada yang lain, demikian temuan para peneliti.
Tetapi kritik terhadap kebijakan perusahaan, dan penanganan disinformasi yang terkait dengan pemilu, datang dari Demokrat serta Republik.
Demokrat telah memfokuskan kritik mereka terutama pada ujaran kebencian, informasi yang salah, dan konten lain yang dapat memicu kekerasan, mencegah orang memilih, atau menyebarkan kebohongan tentang virus corona.
Mereka mengkritik CEO teknologi karena gagal mengawasi konten, menyalahkan platform tersebut karena berperan dalam kejahatan rasial dan kebangkitan nasionalisme kulit putih di AS.
″ Jika Anda mengira disinformasi di Facebook adalah masalah selama pemilihan kami, tunggu saja sampai Anda melihat bagaimana hal itu merobek-robek struktur demokrasi kami di hari-hari berikutnya,” tulis Juru Bicara Biden, Bill Russo di Twitter.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)