TRIBUNNEWS.COM - Amerika SerikatĀ mencabut larangan penerbangan selama 20 bulan terhadap pesawat Boeing 737 MAX pada hari Rabu (18/11/2020).
Pencabutan larangan ini meredakan krisis keselamatan yang menodai reputasi Boeing dan menyebabkan ratusan unit pesawat menganggur.
Namun, kerabat korban kecelakaan pesawat Boeing 737 Max mengecam keputusan tersebut.
Dikutip TribunPalu.com dari laman Channel News Asia, Kepala Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) Steve Dickson, menandatangani perintah untuk mencabut larangan terbang terpanjang dalam sejarah penerbangan komersial ini.
Badan tersebut merilis rincian akhir dari upgrade atau peningkatan perangkat lunak, sistem, dan pelatihan pada pesawat 737 Max yang harus diselesaikan Boeing dan maskapai penerbangan sebelum diizinkan untuk kembali membawa penumpang terbang.
Ketika penerbangan dilanjutkan, Boeing akan menjalankan war-room 24 jam untuk memantau semua penerbangan pesawat seri 737 MAX untuk melihat berbagai kemungkinan masalah.
Mulai dari roda pendaratan yang macet hingga keadaan darurat kesehatan, kata tiga orang yang mengetahui masalah tersebut.
Diketahui, kecelakaan Boeing 737 MAX yang terjadi di Indonesia dan Ethiopia telah menewaskan total 346 orang dalam rentang waktu lima bulan, dari akhir Oktober 2018 dan awal Maret 2019.
Dua insiden ini juga memicu serangkaian investigasi besar, mengoyak prestasi AS dalam penerbangan global, dan menyebabkan Boeing mengalami kerugian sekitar 20 miliar dolar AS.
"Pesawat (Boeing 737 Max) ini adalah pesawat yang paling diteliti dalam sejarah penerbangan," kata Dickson kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada Selasa (17/11/2020).