TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Arab Saudi mengatakan Riyadh tengah mencari cara menyelesaikan perselisihan dengan Qatar.
Untuk dicatat, hubungan Arab Saudi dengan Qatar telah retak sejak tiga tahun lalu.
Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud mengaku, Arab Saudi terus mencari cara untuk mengakhiri blokade Qatar, tetapi tetap bergantung pada penanganan masalah keamanan.
Perselisihan dimulai pada 2017 lalu, ketik Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan non-anggota GCC Mesir memberlakukan boikot terhadap Qatar.
Baca juga: Doa setelah Sholat Tahajud dan Niat yang Dibaca, Keutamaannya, Bacaan Zikir, Tulisan Arab dan Latin
Baca juga: Bebas dari Ancaman Hukuman Mati di Arab Saudi, WNI Lili Sumarni Pulang ke Indonesia
Mereka juga memutuskan hubungan diplomatik dan transportasi serta menuduh Qatar mendukung "terorisme".
Mengutip Al Jazeera, pihak Qatar membantah semua tuduhan terhadapnya.
Bulan lalu, Pangeran Faisal mengatakan, Arab Saudi berkomitmen untuk menemukan resolusi dari masalah ini.
"Kami bersedia terlibat dengan saudara-saudara Qatar kami dan berharap mereka juga berkomiten untuk keterlibatan itu," kata Pangeran Faisal.
"Tapi, kami perlu mengatasi masalah keamanan dari kuartet dan saya pikir ada jalan menuju itu, dengan solusi dala waktu yang relatif dekat," papar Pangeran Faisal.
Baca juga:POPULER Internasional: 101 WNI di Arab Saudi Meninggal Akibat Corona | Drama Jepang Berbahasa Jawa
Qatar: Tak Ada Pemenang dalam Krisis Teluk
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, buka suara soal krisis di negara Teluk ini.
Mohammed bin Abdulrahman Al Thani pekan lalu mengatakan, tidak ada pemenang dalam kriss ini dan akan berakhir "kapan saja".
Tapi Yousef al-Otaiba, Duta Besar UEA untuk AS, mengatakan kepada media Israel, dia tidak percaya resolusi akan segera terjadi .
"Saya tidak berpikir itu akan diselesaikan dalam waktu dekat, karena saya tidak berpikir ada introspeksi," kata al-Otaiba.
Pangeran Faisal, berbicara dalam wawancara virtual di sela-sela KTT Pemimpin G20, yang diselenggarakan negaranya, juga mengatakan kerajaan menikmati hubungan "baik, bersahabat" dengan Turki, yang telah berselisih dengan kerajaan selama bertahun-tahun karena kebijakan luar negeri.
Baca juga: Presiden Terpilih AS Joe Biden segera Umumkan Kabinetnya
Ketegangan Negara Teluk
Pembunuhan jurnalis Washington Post Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada 2018 meningkatkan ketegangan secara tajam.
Selama lebih dari setahun, beberapa pedagang Saudi dan Turki berspekulasi bahwa Arab Saudi sedang memberlakukan boikot tidak resmi atas impor dari Turki.
Pangeran Faisal mengatakan, dia belum melihat angka yang akan mendukung adanya boikot.
Menteri Saudi mengatakan, dia yakin pemerintahan yang akan datang dari Presiden terpilih Demokrat Joe Biden akan mengejar kebijakan yang membantu stabilitas regional.
Dia menambahkan, setiap diskusi dengannya akan mengarah pada kerja sama yang kuat.
Baca juga:Turki Larang Merokok di Ruang Publik untuk Cegah Lonjakan Kasus Covid-19
Baca juga: Siap Kerjasama dengan Siapapun Presiden AS, Tapi Putin Belum Ucapkan Selamat ke Joe Biden
Arab Saudi Sambut Presiden Baru AS
Riyadh bersiap menyambut presiden baru AS yang berjanji pada jalur kampanye pemilihan untuk menilai kembali hubungan dengan Arab Saudi, negara bagian yang dia gambarkan sebagai "paria" pada tahun 2019.
Sementara, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menikmati hubungan pribadi yang dekat dengan Presiden AS Donald Trump.
Hubungan mereka memberikan penyangga terhadap kritik internasional atas catatan hak asasi manusia Riyadh setelah pembunuhan Khashoggi, peran Riyadh dalam perang Yaman, dan penahanan aktivis hak-hak perempuan.
Daerah-daerah itu sekarang mungkin menjadi titik perselisihan antara Biden dan Arab Saudi, pengekspor minyak utama dan pembeli senjata AS.
Pangeran Faisal menekankan sejarah 75 tahun "kerja sama pertahanan yang kuat" antara kedua negara dan berharap itu akan berlanjut.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)