TRIBUNNEWS.COM - Presiden China, Xi Jinping, akhirnya memberi selamat kepada Joe Biden sebagai presiden terpilih AS.
Xi Jinping mengirim pesan ucapan selamat pada Rabu (25/11/2020).
Ucapan selamat diberikan setelah lebih dari dua minggu Joe Biden diproyeksikan sebagai pemenang pemilihan presiden AS.
"Mempromosikan perkembangan yang sehat dan stabil dari hubungan China-AS tidak hanya untuk kepentingan fundamental kedua pihak, tetapi juga memenuhi harapan bersama dari komunitas internasional," ucap Xi Jinping, yang dikutip dari kantor berita Xinhua, dilansir CNN.
"Saya berharap kedua belah pihak menjunjung tinggi semangat non-konflik, non-konfrontasi, saling menghormati, dan win-win cooperation, dan fokus pada kerjasama sembari mengelola dan mengendalikan perselisihan," tambahnya.
Baca juga: Profil Para Anggota Kabinet Joe Biden, Dipenuhi Nama-nama dari Pemerintahan Obama
Baca juga: Presiden Xi Jinping: China Siap Tingkatkan Kerja Sama Vaksin Covid-19 Global
Wakil Presiden China, Wang Qishan, juga mengirim pesan berupa ucapan selamat kepada wakil presiden terpilih AS, Kamala Harris, pada Rabu (25/11/2020).
Sebelumnya, 13 November 2020 lalu, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China, tanpa menyebut nama Xi, mengucapkan selamat dari Beijing kepada Biden dan Kamala Harris, hampir seminggu setelah mereka menyampaikan pidato kemenangan.
Namun, juru bicara itu menyebut, hasil pemilihan AS akan dipastikan sesuai hukum dan prosedur AS.
Hubungan Xi Jinping dan Joe Biden
Xi Jinping dan Joe Biden memiliki hubungan hampir satu dekade.
Perkenalan mereka dimulai ketika Biden melakukan perjalanan enam hari ke China pada 2011, saat masih menjadi Wakil Presiden AS.
Kala itu, perjalanan Biden dalam rangka bertemu Wakil Presiden China saat itu, Xi Jinping.
Mereka melakukan perjalanan ke beberapa bagian negara.
Baca juga: Selandia Baru Tawarkan Pengalaman Tangani Covid-19 kepada Joe Biden
Baca juga: Xi Jinping Puji Negara Anggota BRICS Soal Pengembangan Vaksin Covid-19 untuk Pulihkan Ekonomi
Langkah tersebut sebagai upaya untuk mengembangkan hubungan antar dua negara.
Kurang dari setahun kemudian, pada Februari 2012, Xi Jinping datang ke Washington.
Biden bertemu dengan Xi, dan membawanya ke Oval Office untuk bertemu Presiden Barack Obama.
Kemudian, mereka melakukan perjalanan ke Los Angeles.
Perjalanan itu untuk mengumumkan kesepakatan mengenai lebih banyaknya pengambilan gambar untuk film AS di China.
Namun, ketegangan muncul saat tahun 2013.
Kala itu, Biden melakukan perjalanan ke China, di mana Xi naik menjadi pemimpin tertinggi negara itu.
Saat Biden berada di sana, Beijing tiba-tiba membentuk zona pertahanan udara.
Hal itu memengaruhi pertahanan pulau-pulau yang diklaim oleh China dan Jepang.
Baca juga: Trump Akhirnya Mulai Proses Transisi Kekuasaan ke Joe Biden, Meski Masih Tolak Kalah Pilpres AS
Baca juga: Xi Jinping Tawarkan Solusi Kalahkan Pandemi Covid-19 Agar Ekonomi Keluar dari Krisis
Kerjasama AS-China ke Depan
Hampir sembilan tahun kemudian, tim kebijakan luar negeri Biden yang baru masuk telah menjelaskan mereka melihat China sebagai salah satu tantangan yang paling mendesak.
Bahkan, Biden sendiri menulis dalam Foreign Affairs terbitan Januari, bahwa AS perlu bersikap keras terhadap China.
Sementara itu, China telah menolak banyak norma internasional.
Negara Tirai Bambu itu membuat klaim teritorial yang semakin agresif di perairan Asia.
China juga menggunakan pinjaman predator untuk mendapatkan pengaruh atas negara lain dan memperketat cengkeraman otoriternya di dalam negeri.
Tak hanya itu, China menciptakan kamp penjara bagi etnis Muslim Uyghur, serta bergerak untuk menghancurkan otonomi dan kebebasan Hong Kong.
Penasihat kebijakan luar negeri Biden mengatakan, pendekatan Trump terhadap urusan global telah merusak tujuan China.
Oleh karena itu, pemerintahan Biden kali ini berusaha memperbaikinya.
Sebab, ada bidang-bidang yang menjadi kepentingan AS untuk bekerja dengan China.
Misalnya, bidang perubahan iklim dan Korea Utara.
Di bidang lain, penasihat Biden juga mengatakan, AS merasa penting untuk bekerja sama dengan sekutu.
Tujuannya, menghadirkan front persatuan dalam masalah-masalah seperti teknologi, termasuk Huawei dan 5G, pencurian kekayaan intelektual, dan ekspansi China di perairan Asia.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)