TRIBUNNEWS.COM - Islamic Revolutionary Guard Corps (Korps Garda Revolusi Islam/IRGC) menyebut pembunuhan ilmuwan nuklir top Iran Mohsen Fakhrizadeh bulan lalu dilakukan dengan senjata canggih yang dikendalikan satelit.
Diwartakan media lokal Iran, Tasnim, Komandan Senior IRGC menyebut pembunuhan ilmuwan nuklir top Iran Mohsen Fakhrizadeh dilakukan dari jarak jauh dengan bantuan kecerdasan buatan dan senapan mesin dilengkapi dengan "sistem pintar".
Iran menyalahkan Israel atas tewasnya Mohsen Fakhrizadeh, yang dipandang Dinas Intelijen Barat sebagai otak program rahasia Iran untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir.
Baca juga: Biden: Kesepakatan Nuklir Iran adalah Cara Terbaik untuk Hindari Perlombaan Senjata Timur Tengah
Baca juga: Iran Tuduh Barat Dukung Israel atas Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Mohsen Fakhrizadeh
Reuters menerangkan, Iran telah lama membantah memiliki ambisi mengembangkan senjata nuklir seperti yang disebutkan.
Menyoal tewasnya ilmuwan nuklir Iran itu, Israel tak membenarkan atau menyangkal bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Soal Kematian Mohsen Fakhrizadeh
Teheran memberikan rincian kontradiktif tentang kematian Mohsen Fakhrizadeh akhir November 2020 kemarin.
Mohsen Fakhrizadeh disergap pada siang hari di mobilnya di jalan raya dekat Teheran pada Jumat (27/11/2020).
Baca juga: Bentrok Parlemen dan Pemerintah Iran, Bagaimana Nasib Perjanjian Nuklir Iran?
Senjata yang Digunakan Membunuh Mohsen Fakhrizadeh
Ali Fadavi, Wakil Komandan Pengawal Revolusi Iran, sebuah upacara pada Minggu memberikan komentarnya lewat kantor berita semi-resmi Iran Tasnim.
"Martir (Mohsen) Fakhrizadeh sedang mengemudi ketika sebuah senjata, menggunakan kamera canggih membidiknya," terangnya.
"Senapan mesin ditempatkan di atas truk pikap dan dikendalikan oleh satelit," tambahnya.
Fadavi berbicara setelah otoritas Iran mengatakan, mereka menemukan "petunjuk tentang para pembunuh".
Pihak berwenang menyampaikan informasi ini meski belum mengumumkan penangkapan apapun.
Tak lama setelah Mohsen Fakhrizadeh terbunuh, saksi mata mengatakan kepada televisi pemerintah bahwa sebuah truk meledak sebelum sekelompok pria bersenjata melepaskan tembakan ke mobilnya.
Pekan lalu Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan "perangkat elektronik" tanpa ada orang di lapangan.
Para ahli dan pejabat mengatakan kepada Reuters pekan lalu, pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh mengungkap celah keamanan yang menunjukkan pasukan keamanannya mungkin telah disusupi.
Tewasnya Mohsen Fakhrizadeh juga menunjukkan bahwa Republik Islam rentan terhadap serangan lanjutan.
"Sekira 13 tembakan dilepaskan ke martir Mohsen Fakhrizadeh dengan senapan mesin yang dikendalikan oleh satelit," ugkap Fadavi.
"Selama operasi, kecerdasan buatan dan pengenalan wajah digunakan," kata Fadavi.
Istri Mohsen Fakhrizadeh, yang duduk 25 sentimeter darinya di mobil yang sama, tidak terluka.
Baca juga: Eropa Didesak Tetapkan Peta Jalan Kesepakatan Nuklir Iran dan Tarik AS untuk Rekonsiliasi
Ilmuwan Nuklir Kelima yang Tewas
Mohsen Fakhrizadeh diidentifikasi oleh Israel sebagai pemain utama dalam apa yang dikatakannya sebagai pencarian senjata nuklir Iran yang berkelanjutan.
Dia adalah ilmuwan nuklir Iran kelima yang tewas dalam serangan yang ditargetkan sejak 2010 di Iran, dan pembunuhan kedua terhadap seorang pejabat tinggi Iran di 2020.
Baca juga: Senjata yang Dipakai Membunuh Ilmuwan Nuklir Iran Diduga Milik Israel
Dilema yang Dihadap Iran
Setelah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ditambah dengan dugaan sabotase lokasi perakitan sentrifuse di Natanz dan pembunuhan jenderal tinggi Qassem Soleimani, Iran menghadapi dilema.
Diberitakan NBC News sebelumnya, jika memilih untuk tidak membalas dengan tetap membuka pintu diplomasi, Iran akan terlihat lemah dan mengundang lebih banyak serangan rahasia.
Tetapi jika Iran membalas dendam pada target Israel atau AS, Teheran bisa kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mencabut sanksi yang telah membuat ekonominya berantakan.
Pembalasan Iran "berisiko memicu reaksi berantai," ungkap Robert Malley, mantan pejabat senior di Gedung Putih Obama yang membantu merundingkan kesepakatan Iran.
"Israel dapat memilih untuk menanggapi dengan cara yang sama dan langkah semacam itu dapat semakin memperumit kembalinya AS ke perjanjian nuklir," tulis Malley, presiden lembaga pemikir International Crisis Group, baru-baru ini di Foreign Policy.
Langkah tersebut, menurutnya juga berpotensi menolak bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan Iran.
Dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, Iran harus mempertimbangkan bagaimana menjaga pejabat nuklirnya yang tersisa aman.
"Iran juga harus memikirkan bagaimana mencegah serangan di masa depan dan apakah pembalasan akan meningkatkan atau merusak prospek perjanjian diplomatik dengan pemerintahan Biden yang akan datang," kata mantan pejabat AS.
"Namun, pembunuhan ilmuwan nuklir Iran 10 tahun lalu tidak menghalangi Iran untuk melakukan diplomasi dengan Amerika Serikat dan pemerintah lain," kata David Albright, pendiri dan presiden Institut Sains dan Keamanan Internasional nirlaba.
Albright mengatakan, kematian Fakhrizadeh membuat Iran kehilangan sosok penting yang mahir dalam mengelola dan mengatur pekerjaan nuklir yang sensitif.
"Jika Iran memilih untuk terburu-buru membangun bom, itu akan menjadi tempat yang tepat untuk membangun perangkat untuk meledak di bawah tanah," kata Albright.
"Saya tidak berpikir mereka akan kesulitan melakukan itu dan itu tidak akan memakan waktu lama," katanya.
"Saya pikir dampaknya akan lebih terasa jika mereka harus membangun hulu ledak nuklir yang akan bekerja di atas rudal balistik," kata Albright.
Seorang mantan pejabat senior intelijen AS mengatakan "pembangunan program persenjataan nuklir melibatkan lebih dari sekadar fisika, karena melibatkan pembangunan perusahaan personel, gedung dan peralatan yang luas dan rahasia".
"Fakhrizadeh memiliki pengalaman itu serta kemampuan untuk bekerja dengan kepemimpinan teknis dan pertahanan," kata pejabat itu.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)