News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Kedelai tak Terkendali

Permintaan Kedelai China akan Tetap Kuat pada 2021, Didorong Pemulihan Ternak Babi

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kedelai: Pekerja mengolah adonan kedelai di sentra industri tempe, Jalan Jakarta, Kota Bandung, Senin (28/9/2015). I,bas dari pelemahan Rupiah terhadap Dollar memicu kenaikan harga kedelai impor di kisaran Rp 7.500 sampai Rp7.800 per Kg. TRIBUN JABAR/Bukbis Candra Ismet Bey

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Setelah setahun mencatat rekor permintaan kedelai, China diperkirakan akan melanjutkan penguatan pembelian biji kedelai pada 2021 ini.

Permintaan biji kedelai China yang melonjak pada tahun pemasaran Oktober 2020 hingga September 2021, telah menjadi pendorong utama kenaikan harga kedelai global sebesar 20 hingga 30 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

Saat ini harganya berada pada kisaran 10 hingga 14 dolar Amerika Serikat per bushel.

Dikutip dari laman Hellenic Shipping News, Senin (4/1/2021), para pengamat menilai kenaikan harga itu karena negara tersebut menyumbang 60 persen dari perdagangan kedelai global.

Sementara itu, analisis dari Departemen Pertanian AS dan S&P Global Platts memprediksi permintaan kedelai China pada tahun 2020-2021 berada pada titik tertinggi sepanjang masa, yakni sebesar 100 juta metric ton (mt).

Beberapa Analis bahkan optimistis China dapat mengimpor lebih dari 100 juta mt, karena peternakan babi di negara itu mulai menunjukkan pemulihan.

Baca juga: Harga Kedelai Naik, Tempe Langka di Pasaran, Ini Kata Indef

Para Analis menyebut bahwa pada kalender 2020, impor kedelai China diperkirakan mencapai 100 juta mt, meskipun persediaan babi di negara itu belum pulih sepenuhnya.

Jika tren pertumbuhan babi saat ini berlanjut, maka kapasitas produksi babi China kemungkinan akan pulih sepenuhnya pada paruh pertama tahun 2021.

Perlu diketahui, produsen dan konsumen daging babi terbesar di dunia kehilangan lebih dari 50 persen populasi babi karena African Swine Fever (ASF) yang muncul pada Agustus 2018.

ASF adalah penyakit yang sangat menular pada babi dan dapat menyebabkan kematian hewan ternak ini hingga 100 persen.

Penyakit ini pun memicu kerugian ekonomi yang sangat besar.

Setelah tindakan karantina skala besar yang dilakukan pemerintah China, lebih dari 200 juta babi akhirnya dimusnahkan.

Ini menyebabkan terjadinya penurunan besar-besaran daging babi di negara itu.

Menurut Konsultan yang berbasis di Beijing, MARA, sektor peternakan babi China telah menyaksikan konsolidasi yang cepat sejak akhir 2019 lalu.

Karena peternakan skala kecil digabungkan menjadi entitas besar di bawah arahan pemerintah.

Data MARA menunjukkan, pada November 2020 stok babi di negara itu naik 29,8 persen secara tahunan.

Sedangkan persediaan babi betina pun naik 31,2 persen pada tahun tersebut, sehingga meningkatkan pasokan daging babi di negara itu.

Hal ini yang kemudian membuat China sangat bergantung pada pembelian kedelai.

Karena negara itu memproses lebih dari 80 persen biji kedelai impor menjadi pakan ternak.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini