News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Krisis Myanmar

Myanmar Terima Dana Segar IMF Rp 4,9 Triliun Sebelum Kudeta Militer

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tentara berjaga di jalan yang diblokade menuju parlemen Myanmar di Naypyidaw pada 1 Februari 2021, setelah militer menahan pemimpin de facto negara itu Aung San Suu Kyi dan presiden negara itu dalam sebuah kudeta.

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON –Dana Moneter Internasional (IMF) ternyata telah mengirimkan uang tunai $ 350 juta (sekira Rp 4,9 triliun) ke pemerintah Myanmar beberapa hari sebelum junta militer mengambilalih kekuasaan negara, Senin (1/2/2021).

Dana itu bagian paket bantuan darurat untuk membantu negara tersebut mengatasi pandemi Covid-19. Informasi ini disampaikan juru bicara IMF kepada kantor berita Reuters, Rabu (3/2/2021).

Uang itu dikirim beberapa hari sebelum tokoh sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dan tokoh senior Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa ditangkap dalam serangan Senin pagi di ibu kota Naypyitaw.

Reuters mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan, tampaknya hanya sedikit yang dapat dilakukan IMF untuk menarik kembali dana bantuan darurat.

IMF sebelumnya menyatakan harapan uang tersebut akan membantu Myanmar memenuhi kebutuhan neraca pembayaran mendesak yang timbul dari pandemi Covid-19.

Terutama langkah-langkah pemulihan pemerintah untuk memastikan stabilitas ekonomi makro dan keuangan sambil mendukung sektor yang terkena dampak dan kelompok rentan.

Baca juga: Protes Kudeta Militer Myanmar, Pengunjuk Rasa Pukul-pukul Panci dan Bunyikan Klakson]

Baca juga: POPULER INTERNASIONAL: Wanita Senam saat Kudeta di Myanmar | Negara yang Terlilit Utang dari China

Baca juga: Kudeta Militer di Myanmar, 42 Pejabat Diculik, 16 Aktivis Hilang Misterius

IMF Tak Bisa Lakukan Apa-apa Guna Tarik Dana 

Seorang juru bicara IMF menunjukkan mereka mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung di Myanmar.

Mereka sangat prihatin tentang dampak peristiwa pada ekonomi negara dan pada rakyat negara ini. Pernyataan itu muncul ketika militer negara itu mengumumkan pembentukan Dewan Administrasi Negara yang diketuai jenderal senior Min Aung Hlaing.

The Myanmar Times melaporkan dewan itu dibentuk sesuai Pasal 419 dari Konstitusi 2008, yang menetapkan seorang panglima tertinggi Badan Pertahanan, yang kepadanya kekuasaan kedaulatan telah dialihkan akan memiliki hak untuk menjalankan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif .

Perkembangan lainnya, junta militer Myanmar yang juga dikenal sebagai Tatmadaw, menangguhkan semua penerbangan, termasuk yang melayani penerbangan domestic.

Kudeta terjadi di Negara itu setelah berminggu-minggu ketegangan politik meningkat menyusul tuduhan kecurangan dalam pemilihan November 2020.

Liga Nasional untuk Demokrasi yang bertumpu tokoh Aung San Suu Kyi, menang dalam pemungutan suara.

Pemilu lalu merupakan yang kedua sejak berakhirnya kekuasaan militer di negara itu pada 2011. NLD menang mutlak pada pemilihan tersebut, membangkitkan kemarahan militer yang berdekade menguasai Burma.

Kilas Balik Krisis Politik dan Kudeta Myanmar

Panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing memimpin kudeta militer di negara itu, Senin (1/2/2021).

Setelah menangkap tokoh sipil Aung San Suu Kyi dan elite Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang memenangkan Pemilu November 2020, keadaan darurat diberlakukan satu tahun ke depan.

Mengapa militer Myanmar merebut kekuasaan lewat kudeta? Zaheena Rashid dari Aljazeera menulis laporan panjang tentang krisis Myanmar, Selasa (2/1/2021).

Menurutnya, analis dan tokoh LND mengatakan ambisi Min Aung Hlaing merebut kursi Presiden memainkan peran kunci di perebutan kekuasaan ini.

Fakta ini ironis jika melihat balik jalannya Pemilu lalu. Mengenakan masker, sarung tangan, dan pelindung wajah, para pemilih di Myanmar pada 8 November menyerahkan suaranya.

Ini pemungutan suara demokratis kedua di negara itu sejak akhir pemerintahan militer pada 2011. Di tempat pemungutan suara di kota terbesar Myanmar, Yangon, antusiasme terlihat jelas.

“Orang-orang bersemangat untuk memilih, karena mereka ingin lari dari pertikaian politik,” kata seorang petugas pemungutan suara pada saat itu. "Mereka menginginkan demokrasi sejati," imbuhnya.

Masalah, bagaimanapun, sudah mulai muncul.  Hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara, Jenderal Min Aung Hlaing memberi sinyal tentara mungkin tidak menerima hasil pemilihan.

Ia menuduh pemenang Nobel Aung San Suu Kyi membuat kesalahan yang tidak dapat diterima. Hlaing  mengatakan militer berhati-hati tentang hasil pemilihan umum.

NLD meraih kemenangan telak, meraih lebih dari 80 persen suara dan meningkatkan dukungannya dari Pemilu 2015.

Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang diyakini proksi militer, menyerukan pemungutan suara ulang.

Tatmadaw, sebutan militer, mendukung pernyataan USDP, mengklaim tanpa bukti penyelidikannya sendiri telah menemukan 10,5 juta suara dipalsukan.

Rabu (27/1/2021), Jenderal Min Aung Hlaing mengancam akan mencabut konstitusi. Ancaman ini memicu kecaman internasional, dan militer menarik kembali peringatannya.

Mereka menuduh media telah salah menafsirkan pernyataan jenderal tersebut. Tetapi pada Senin (1/2/2021) pagi, ancaman itu menjadi kenyataan.

Hanya 10 tahun setelah memulai transisi ke pemerintahan sipil, Tatmadaw kembali berkuasa di Myanmar.

Para pemimpin sipil teratas termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditahan, tentara turun ke jalan dan layanan telepon dan internet terputus di sebagian besar wilayah. negara.

Beberapa jam setelah kudeta, militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun, dengan menggunakan dalih pemerintah NLD gagal dan melakukan "penipuan yang mengerikan".

Rezim militer juga menjanjikan pemilihan baru, tetapi tidak memberikan kerangka waktu, dan mengumumkan kekuasaan telah diserahkan kepada Ming Aung Hlaing.

Min Aung Hlaing Berambisi Jadi Presiden Myanmar

Dalam UU Myanmar, usia pensin seorang jenderal adalah 65 tahun. Per Juli 2020, Min Aung Hlaing telah memasuki masa pensiun.  

Tapi ambisi lamanya yang ingin memimpin Myanmar, membuat kekuasannya diperpanjang. Melissa Crouch, profesor di Fakultas Hukum, Universitas New South Wales di Sydney, Australia, menyebut Hlaing sejak lama ingin berkuasa.

Tapi ambisinya hancur ketika USDP kalah di Pemilu 8 November 2020. Kekalahan partai proksi militer itu menggagalkan cita-citanya secara kontitusional.

Tatmadaw, di bawah konstitusi yang dibuatnya pada 2008, telah menunjuk 166 atau 25 persen kursi di parlemen.

Sementara USDP membutuhkan 167 kursi lagi untuk menunjuk Min Aung Hlaing sebagai Presiden Myanmar di parlemen.

Namun partai tersebut hanya memenangkan 33 dari 498 kursi yang tersedia. Sedangkan NLD merebut 396 kursi.

Crouch mengatakan kudeta Senin, yang terjadi hanya beberapa jam sebelum parlemen baru akan bertemu untuk pertama kalinya, dipicu kesadaran militer bahwa tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kembali kursi kepresidenan.

"Untuk mendapatkan kembali kantor presiden, mereka harus bertindak di luar hukum ... Dan dalam waktu satu tahun, mereka akan mengizinkan pemilihan baru dilakukan. Jika USDP berhasil mendapatkan sepertiga kursi, maka ada kemungkinan Min Aung Hlaing bisa menjadi presiden," kata Melissa.

Min Aung Hlaing, yang sebelumnya merupakan tokoh yang kurang dikenal di angkatan bersenjata, diangkat sebagai panglima tertinggi pada 2011, tepat ketika Myanmar mulai beralih ke pemerintahan sipil setelah 49 tahun pemerintahan militer.

Ketika NLD memenangkan pemilihan multi-partai tahun 2015, sang jenderal mulai memposisikan dirinya sebagai calon presiden.

Dia tidak pensiun seperti yang diharapkan pada 2016, mengubah dirinya, dengan bantuan media sosial, dari tentara penyendiri menjadi figur publik.

Halaman Facebook yang didedikasikan untuk umum mempublikasikan aktivitasnya, termasuk kunjungan ke biara di negara mayoritas Buddha, dan pertemuan dengan pejabat.

Salah satu halaman memiliki 1,3 juta pengikut dan bertindak sebagai saluran utama militer untuk mendapatkan informasi, terutama selama penumpasan brutal Tatmadaw terhadap minoritas Rohingya pada 2017.

Operasi tersebut, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok, dan pembakaran yang meluas, mendorong sekira 730.000 penduduk Rohingya masuk negara tetangga Bangladesh.

Tahun berikutnya, Facebook menghapus dua halaman tersebut. Baik AS dan Inggris sejak itu menjatuhkan sanksi pada Min Aung Hlaing, yang menurut penyelidik PBB, kampanye antiRohingya memiliki "niat genosida".

Frontier Myanmar, majalah urusan terkini yang berbasis di Yangon, mengatakan fakta Min Aung Hlaing adalah "salah satu orang yang paling dicari di planet ini" karena perannya dalam kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya juga berkontribusi pada kecemasan sang jenderal tentang masa depannya.

"Menunjuk seorang loyalis untuk menggantikannya sebagai panglima tertinggi akan membantu, tapi itu tampaknya tidak cukup untuk meredakan kekhawatirannya," katanya dalam sebuah komentar.

Pada Senin, AS mengancam sanksi baru terhadap Myanmar atas serangan langsung militer terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum.

Sementara Inggris mengatakan akan bekerja secara diplomatis dengan sekutunya untuk "memastikan kembalinya demokrasi secara damai".

Para pemimpin dari seluruh dunia juga mengutuk kudeta tersebut, tetapi negara tetangga China, mitra ekonomi paling berpengaruh di Myanmar, mengatakan pihaknya "mencatat" apa yang terjadi dan mendesak semua pihak untuk "menyelesaikan perbedaan" guna menjaga stabilitas.

Kepentingan Bisnis Elite Militer 

Sementara itu, Justice for Myanmar, sebuah kelompok kampanye, mengatakan kudeta pada hari Senin tidak hanya tentang menjaga pengaruh politik Min Aung Hlaing, tetapi juga kekayaannya.

Jenderal itu telah mengeksploitasi posisinya sebagai panglima tertinggi untuk keuntungan pribadinya, dan kudeta hari ini memperluas kekuasaan dan hak istimewa itu.

Para pegiat mengatakan bisnis yang dimiliki anak-anak Min Aung Hlaing telah mendapat keuntungan dari akses mereka ke sumber daya negara selama masa jabatannya dan mencatat bahwa sebagai panglima tertinggi.

Ming Aung Hlaing memiliki otoritas tertinggi atas dua konglomerat utama militer, Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL), yang memiliki investasi di berbagai sektor, termasuk permata, tembaga, telekomunikasi, dan pakaian.

Penyelidik PBB sebelumnya telah meminta para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi keuangan yang ditargetkan pada dua perusahaan tersebut.

Pendapatan yang dihasilkan dari bisnis semacam itu dianggap memperkuat posisi militer dari pengawasan sipil dan memberikan dukungan keuangan untuk operasi mereka.

"Jika demokratisasi berkembang dan ada pertanggungjawaban atas tindakan kriminalnya, dia dan keluarganya akan kehilangan aliran pendapatan mereka," kata Justice for Myanmar.

Tanggapan Juru Kampanye Burma

“Ini adalah kudeta Min Aung Hlaing, bukan hanya kudeta militer,” kata Mark Farmaner, Direktur Kampanye Burma yang berbasis di Inggris. Ini tentang posisinya dan kekayaannya.

Analis lain mengatakan kepentingan institusional militer juga berperan. Kemenangan pemilihan NLD menempatkan militer pada "posisi tawar yang lebih lemah".

Analisis ini diungkapkan Bridget Welsh, seorang peneliti kehormatan di Institut Riset Asia Universitas Nottingham di Malaysia.

Kuota parlemen yang tidak dipilih oleh militer memberinya hak veto atas amandemen konstitusi, tetapi "posisi mereka akan melemah ketika ada mayoritas yang lebih besar dalam masalah hokum," katanya.

“Itu merupakan tantangan besar bagi posisi dan otoritas militer di Myanmar,” imbuhnya.  Sementara Min Aung Hlaing telah berhasil melakukan kudeta, pengamat mengatakan masih ada pertanyaan tentang kemampuannya dan kemampuan militer untuk mempertahankan kekuasaan.

NLD, dalam sebuah pernyataan yang diatribusikan kepada Aung San Suu Kyi, mendesak rakyat Myanmar untuk " sepenuh hati memprotes" kudeta Senin.

Para analis mengatakan generasi muda, yang telah hidup dalam sistem yang lebih terbuka, kemungkinan besar akan bereaksi.

“Kebanyakan orang di Myanmar mungkin tidak mendukung kudeta tersebut,” kata Jay Harriman, seorang analis di BowerGroupAsia.

“Mereka mungkin bergumul dengan apa yang harus dilakukan, saat kita berbicara. Ini adalah keputusan hidup dan mati. Ketika mereka menolak pengambilalihan militer pada 1988, ribuan orang dilaporkan terbunuh.

Peristiwa ini kemungkinan besar terlintas di benak banyak orang saat mereka memikirkan tentang tanggapan yang tepat," kata Harriman.(Tribunnews.com/Aljazeera/Sputniknews/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini