Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) akan mengadakan sidang khusus pada Jumat (12/2/2021) untuk membahas krisis di Myanmar setelah pemerintahan sipil terpilih dikudeta oleh militer.
Hal itu disampaikan Dewan HAM PBB dalam pernyataannya seperti dilansir Reuters, Selasa (9/2/2021).
Langkah ini secara resmi diminta Inggris dan Uni Eropa sebelumnya pada Senin (8/2/2021), didukung oleh 19 anggota dari 47 anggota, terutama negara-negara Barat yang bergabung dengan Jepang dan Korea Selatan.
Amerika Serikat, yang mengumumkan pada Senin kembali ke forum itu adalah di antara 28 negara pengamat yang terdaftar sebagai pendukung langkah itu.
Para pendukung sedang membahas rancangan resolusi yang akan disajikan untuk diadopsi mengenai masalah yang ada di Myanmar.
Duta Besar Inggris untuk PBB di Jenewa, Julian Braithwaite mengatakan kepada sebuah pertemuan organisasi Dewan HAM bahwa penahanan politisi dan warga sipil oleh militer "memiliki implikasi besar bagi hak asasi manusia di negara itu".
Dia mencatat penyelidik PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, Thomas Andrews telah menyerukan untuk melakukan sesi khusus guna menunjukkan kepada warga Myanmar "mereka tidak sendirian di waktu bahaya dan kebutuhan mereka."
"Di atas segalanya, kita harus segera menanggapi penderitaan rakyat di Myanmar dan situasi hak asasi manusia yang memburuk dengan cepat di sana," kata Braithwaite.
Puluhan ribu orang turun ke jalan pada hari ketiga, pada Senin (8/2/2021) untuk memprotes kudeta yang menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan junta militer akan mengadakan pemilu baru dan peralihan kekuasaan kepada pemenang.
Suu Kyi, 75 tahun, telah ditahan sejak kepala tentara Min Aung Hlaing merebut kekuasaan pada dini hari 1 Feb.
Suu Kyi menghadapi tuduhan melaukan impor enam walkie-talkie secara ilegal dan ditahan di tahanan polisi hingga 15 Februari.
Baca juga: Polisi Myanmar Tembakkan Meriam Air ke Pengunjuk Rasa dan Memperingatkan untuk Bubarkan Diri
Baca juga: Pidato Pertama Pemimpin Militer Myanmar Sejak Kudeta, Sebut akan Adakan Pemilu Multipartai
Pengacaranya bilang dia belum diizinkan untuk ditemui.
Kudeta telah menarik kecaman internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pembebasan Suu Kyi dan tahanan lainnya pekan lalu dan Amerika Serikat sedang mempertimbangkan sanksi baru untuk Myanmar.
"Demonstran di Myanmar terus menginspirasi dunia ketika tindakan menyebar ke seluruh negeri," ujar Thomas Andrews, pelapor khusus PBB di Myanmar, di Twitter.
"Myanmar bangkit untuk membebaskan semua yang telah ditahan dan menolak kediktatoran militer sekali dan untuk selamanya. Kami bersamamu."
Pemimpin terpilih Suu Kyi telah ditahan sejak Senin, ketika dia digulingkan oleh militer atas dalih melakukan kecurangan Pemilu November lalu.
Dia juga menghadapi tuduhan mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal, berdasarkan dokumen polisi.
Sekitar 147 orang telah ditahan sejak kudeta militer berlangsung, termasuk aktivis, anggota parlemen dan pejabat dari pemerintahan Suu Kyi, demikian Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan pada Kamis (4/2/2021).
Junta Militer Blokir Facebook
Junta militer Myanmar memblokir Facebook demi memastikan stabilitas pada Kamis (4/2/2021).
Pesan WhatsApp Facebook juga diblokir, demikian dilaporkan Reuters, Kamis (4/1/2021).
Pemblokiran Facebook diambil junta militer ketika setidaknya tiga aktivis ditangkap pada unjuk rasa memprotes kudeta yang menggulingkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Penentangan terhadap junta militer telah muncul sangat kuat di Facebook, yang merupakan platform internet utama negara itu dan mendukung komunikasi untuk bisnis dan pemerintah.
Facebook masih bisa diakses dengan cara tertentu.
Demonstran di kota Mandalay menggunakan Facebook untuk melakukan livestreaming aksi protes massal pertama menentang kudeta.
"Protes rakyat terhadap kudeta militer," tulisan salah satu spanduk.
Baca juga: Gelombang Unjuk Rasa dan Mogok Kerja Semakin Meluas di Myanmar
Baca juga: Analis Sebut Kudeta Myanmar karena Ambisi Pribadi Panglima Militer yang Merasa Hilang Rasa Hormat
Demonstran meneriakkan: "Pemimpin kami yang ditangkap, lepaskan sekarang, lepaskan sekarang."
Tiga orang ditangkap, kata tiga kelompok mahasiswa ditempat terpisah. Reuters tidak dapat menghubungi polisi untuk berkomentar.
Usai ditahan militer, kini penerima Nobel Perdamaian Suu Kyi menghadapi tuduhan mengimpor peralatan komunikasi secara ilegal.
Jejaring sosial ini juga telah digunakan untuk berbagi gambar Gerakan Ketidakpatuhan oleh dokter dan tenaga medis di rumah sakit pemerintah di seluruh negeri.
Para dokter melakukan aksi mogok kerja dan mengenakan pita warna merah partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi.
Gambar yang dibagikan di Facebook pada Rabu (3/2/2021), menunjukkan para pekerja di kementerian pertanian bergabung dalam gerekan tersebut.
Tanda-tanda kemarahan warga lainnya telah muncul. Selama dua malam, orang-orang di Yangon dan kota-kota lain telah memukul-mukul panci dan wajan serta membunyikan klakson mobil.
Gambar aksi ini beredar luas di Facebook.
"Lampu bersinar dalam gelap," kata Min Ko Naing, seorang veteran masa lalu melawan pemerintahan militer.
"Kita perlu menunjukkan berapa banyak orang yang menentang kudeta yang tidak adil ini."
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan Facebook, yang digunakan oleh setengah dari lebih dari 53 juta penduduk Myanmar, akan diblokir hingga 7 Februari karena pengguna "menyebarkan berita palsu dan informasi yang salah serta menyebabkan kesalahpahaman".
Suu Kyi tidak terlihat sejak penangkapannya bersama dengan para pemimpin partai lainnya.
NLD memenangkan sekitar 80 persen suara dalam pemungutan suara 8 November lalu, menurut komisi pemilihan umum Myanmar.
Hasil ini ditolak militer dan menyatakan tuduhan kecurangan yang tidak berdasar.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan akan menaikkan tekanan internasional untuk memastikan hak rakyat dihormati.
"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memobilisasi semua aktor kunci dan komunitas internasional untuk memberikan tekanan yang cukup pada Myanmar untuk memastikan bahwa kudeta ini gagal," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat diwawancarai yang disiarkan The Washington Post, Rabu (3/2/2021). (Reuters/Channel News Asia/AFP/Washington Post)