TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada dua jenderal militer Myanmar pada Senin (23/2/2021) waktu setempat.
Bahkan AS mengancam akan mengambil tindakan lebih lanjut atas kudeta militer yang terjadi 1 Februari lalu.
Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan AS mengatakan sanksi itu dijatuhkan kepada Jenderal Maung Maung Kyaw, yang merupakan panglima angkatan udara, dan Letnan Jenderal Moe Myint Tun, mantan kepala staf angkatan darat dan komandan salah satu biro operasi khusus militer yang mengawasi operasi di ibukota, Naypyidaw.
"Militer harus membatalkan tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis di Myanmar, atau Departemen Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut," kata departemen itu dalam sebuah pernyataannya seperti dilansir Reuters, Selasa (23/2/2021).
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menegaskan ancaman yang sama.
"Kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap mereka yang melakukan kekerasan dan menindas rakyat," kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
Aksi mogok massal terjadi pada Senin (22/2/2021), mengakibatkan semua bisnis di Myanmar tutup.
Ribuan orang berkumpul secara damai, meskipun ada kekhawatiran akan ada tindakan kekerasan setelah pihak berwenang memperingatkan bahwa konfrontasi bisa berakibat pada kematian.
Semua aksi warga itu dilakukan dalam rangka menentang pemerintahan militer yang mengambil-alih kekuasaan yang sah hasil pemilu 8 November lalu dari tangan Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari lalu.
Tiga minggu setelah merebut kekuasaan, junta telah gagal menghentikan aksi protes harian dan gerakan pembangkangan sipil yang menyerukan pembatalan kudeta dan pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
"Kami menyerukan kepada militer dan polisi untuk menghentikan semua serangan terhadap demonstran yang melakukan aksi damai, segera bebaskan semua orang yang ditahan secara tidak adil, hentikan serangan dan intimidasi terhadap jurnalis dan aktivis, dan pulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis," kata Blinken.
Seperti beberapa perwira militer yang telah mendapat sanksi tahap dari AS, dua jenderal yang masuk daftar hitam pada Senin (22/2/2021) telah ditunjuk sebagai anggota Dewan Administrasi Negara dari junta militer Myanmar.
Baca juga: Uni Eropa Siap Berikan Sanksi kepada Militer Myanmar
Melalui pemberian sanksi itu, semua aset milik dua jenderal Myanmar yang ada di AS akan dibekukan, apa pun yang mereka miliki dan semua pihak termasuk perusahaan Amerika dilarang untuk bekerjasama dengan mereka.
Sekjen PBB Tuntut Militer Segera Hentikan Penindasan Warga Penentang Kudeta
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (22/2/2021) mengutuk "tindakan brutal" militer terhadap warga yang menentang kudeta di Myanmar.
Guterres mendesak militer untuk segera menghentikan penindasan dan membebaskan tahanan yang ditahan sejak kudeta terjadi 1 Februari lalu.
Hal itu disampaikan Guterres dalam pidato tahunannya kepada Dewan HAM PBB, Senin (22/2/2021), seperti dilansir AP dan Channel News Asia.
"Hari ini, saya menyerukan kepada militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan," katanya, berbicara dalam pesan video yang direkam sebelumnya pada pembukaan sesi ke-46 dewan yang berbasis di Jenewa itu.
"Bebaskan para tahanan. Akhiri kekerasan. Hormati hak asasi manusia, dan keinginan rakyat yang diungkapkan dalam pemilu baru-baru ini," ujarnya.
Dia tegaskan, "kudeta tidak memiliki tempat di dunia modern".
Hingga hari ini warga Myanmar masih melakukan aksi protes dan kampanye pembangkangan sipil besar-besaran dan sebagian besar berlangsung damai yang menuntut kembalinya pemimpin sipil yang digulingkan junta militer, Aung San Suu Kyi.
Sabtu pekan lalu (20/2/2021) menjadi hari paling mematikan sejak kudeta 1 Februari, dengan dua orang tewas setelah pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di Mandalay dan seorang pria ketiga ditembak mati di Yangon.
Junta memperingatkan para demonstran agar tidak menghasut orang "ke jalur konfrontasi di mana mereka akan menderita kehilangan nyawa".
Namun para demonstran pada Senin (22/2/2021) tidak terpengaruh oleh peringatan militer itu, dengan puluhan ribu pengunjuk rasa di Yangon, pusat kota dan komersial, mereka tetap menggelar aksi protes terbesar di Myanmar.
Guterres juga mengutuk "tindakan kekerasan mematikan" yang dilakukan militer pada Sabtu (20/2/2021).
"Penggunaan kekerasan mematikan, intimidasi dan penindasan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima," tegas Guterres dalam sebuah tweetnya pada Minggu (21/2/2021).
Kementerian luar negeri Myanmar ‘memukul balik’, menuduh PBB dan sejumlah negara asing melakukan "campur tangan " dalam urusan internalnya.
Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada telah mengeluarkan sanksi terhadap para jenderal terkemuka Myanmar.
Bahkan sebelum kudeta, kepala angkatan darat Jenderal Min Aung Hlaing - yang sekarang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif - sedang menghadapi sanksi atas peran militernya dalam tindakan keras dan brutal terhadap Muslim Rohingya pada 2017.
Sejak pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer, sebanyak 640 orang telah ditahan, menurut kelompok pemantau, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Di antara mereka yang ditaham adalah pekerja kereta api, pegawai negeri sipil dan staf bank, yang telah meninggalkan pekerjaan mereka untuk melakukan aksi mogok kerja sebagai bagian dari kampanye anti-kudeta.
"Kita melihat rusaknya demokrasi, penggunaan kekerasan brutal, penangkapan sewenang-wenang, represi dalam semua manifestasinya. Pembatasan ruang kewarganegaraan," ujar Guterres.
Dia juga mengutuk serangan terhadap masyarakat sipil dan "pelanggaran serius terhadap minoritas tanpa akuntabilitas, termasuk apa yang telah disebut pembersihan etnis Rohingya".
Sekjen PBB menyuarakan "dukungan penuhnya kepada rakyat Myanmar dalam mengejar demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dan aturan hukum".
Dan dia menyambut resolusi yang disahkan oleh dewan HAM PBB pada awal bulan ini, selama sesi khusus yang didedikasikan untuk krisis di Myanmar, dan menuntut pembebasan segera Aung San Suu Kyi.
Resolusi itu diadopsi tanpa suara oleh 47 anggota, tetapi beberapa negara termasuk sekutu tradisional militer Myanmar China dan Rusia memisahkan diri dari konsensus.(Reuters/AFP/Channel News Asia)