TRUBUNNEWS.COM - Seorang pekerja toko bahan makanan, Mya Thwate Thwate Khaing, ditembak di kepala oleh polisi saat mengikuti demo memprotes kudeta militer Myanmar.
Mya Thwate Thwate Khaing sempat dirawat dalam perawatan intensif, tetapi meninggal beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-20.
Menurut laporan wxxinews.org, Mya Thwate Thwate Khaing meninggal karena luka-lukanya pada Jumat (19/2/2021) pagi.
Ia juga menjadi korban tewas pertama yang dikonfirmasi dalam konfrontasi yang sedang berlangsung antara pengunjuk rasa dan militer Myanmar.
Baca juga: Ribuan Orang di Myanmar Hadiri Pemakaman Demonstran yang Tewas Ditembak di Kepala
Baca juga: Junta Militer Myanmar Ancam Demonstran akan Kehilangan Nyawa jika Teruskan Aksi Mogok Nasional
Dikutip dari The Guardian, pada Minggu, pelayat berbaris di pintu masuk ke pemakaman di kota saat mobil jenazah yang membawa tubuh Mya Thwate Thwate Khaing tiba dan dibawa ke krematorium di mana banyak orang telah berkumpul.
Para pelayat kompak mengangkat tangan memberi hormat tiga jari saat kendaraan hitam dan emas itu meluncur perlahan lewat.
Perlu diketahui, tiga jari adalah tanda pembangkangan dan perlawanan yang diadopsi dari negara tetangga Thailand.
Di dalam aula krematorium, tutup peti mati Mya Thwate Thwate Khaing sebagian dilepas untuk memungkinkan melihatnya sekilas sebelum kremasi.
Baca juga: Myanmar di Tengah Aksi Mogok Massal untuk Lawan Kudeta Militer
Baca juga: Facebook Menghapus Fanpage yang Dikelola Militer Myanmar karena Pelanggaran Standar Komunitas
Kudeta Militer Myanmar Menarik Perhatian Negara Lain
Dilansir oleh AP News, tanda-tanda potensi konflik yang tidak menyenangkan menarik perhatian di luar Myanmar.
Di antaranya AS menegaskan kembali mereka mendukung rakyat Myanmar.
Menteri Luar Negeri, Antony Blinken, mengatakan di Twitter bahwa AS akan mengambil tindakan tegas.
Baca juga: Protes Anti-Kudeta Myanmar: 2 Orang Dilaporkan Tewas, Lainnya Cedera
Baca juga: Menyusul AS, Inggris dan Kanada Jatuhkan Sanksi pada Junta Myanmar
"Terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Burma karena mereka menuntut pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis."
"Kami menyerukan kepada militer untuk menghentikan kekerasan, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, menghentikan serangan terhadap jurnalis dan aktivis, dan menghormati keinginan rakyat," kata juru bicara Ned Price di Twitter.
Kudeta, dan penggunaan kekerasan mematikan baru-baru ini terhadap pengunjuk rasa, telah dikecam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta oleh Prancis, Singapura, dan Inggris.
Baca juga: Unjuk Rasa Antikudeta Myanmar Memakan Korban, Demonstran Meninggal Usai Kepalanya Ditembak Polisi
Baca juga: Tertembak di Kepala, Demonstran Myanmar Berusia 20 Tahun Meninggal Dunia
Menteri luar negeri Uni Eropa akan bertemu pada Senin untuk membahas tanggapan mereka.
Sementara itu, Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar mengatakan ia merasa ngeri dengan banyaknya nyawa yang hilang selama akhir pekan.
“Dari meriam air hingga peluru karet hingga gas air mata dan sekarang pasukan yang mengeras menembaki para pengunjuk rasa damai. Kegilaan ini harus diakhiri, sekarang, ” katanya.
Baca juga: Jadi Korban Penembakan Polisi Saat Demo, Wanita Myanmar Ini Meninggal Setelah 10 Hari Dirawat
Baca juga: Setelah AS dan Inggris, Giliran Kanada Jatuhkan Sanksi kepada 9 Elite Junta Militer Myanmar
Pemadaman Internet di Myanmar
Pemadaman internet yang telah diberlakukan setiap malam selama seminggu terakhir, tetap terjadi hampir sepanjang Senin pagi.
Diyakini pihak berwenang memperpanjang penutupan untuk mencegah para aktivis berorganisasi.
Pada Minggu malam, sebelum pemadaman internet, pengguna media sosial melaporkan bahwa pasukan keamanan telah memasang penghalang jalan di lokasi-lokasi utama di Yangon.
Baca juga: Inggris Jatuhkan Sanksi kepada Tiga Jenderal Myanmar
Baca juga: Hacker Meretas Situs Web Propaganda yang Dikelola Pemerintah Militer Myanmar
Termasuk di jembatan dan di jalan-jalan menuju kedutaan asing.
Truk juga melaju di sekitar kota, pengeras suara mengumandangkan pengumuman bahwa orang-orang seharusnya tidak menghadiri protes pada Senin dan mereka harus mematuhi larangan pertemuan lima orang atau lebih.
Larangan pertemuan dikeluarkan tidak lama setelah kudeta tetapi tidak diberlakukan di Yangon, tempat demonstrasi besar-besaran diadakan hampir setiap hari.
Baca juga: Pertemuan Menlu RI - Brunei Bahas Pekerja Migran Hingga Masalah Myanmar
Baca juga: Cegah Tindakan Kekerasan Militer, Demonstran Myanmar Lakukan Aksi Mobil Mogok di Jalan-jalan
Militer telah membenarkan pengambilalihannya dengan mengklaim, tanpa bukti, bahwa ada kecurangan yang meluas dalam pemilihan pada bulan November, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi oleh Aung San Suu Kyi.
Dia tetap dalam tahanan rumah, seperti halnya Presiden Win Myint.
Menurut Asosiasi Bantuan Independen untuk Tahanan Politik, setidaknya 640 orang telah ditangkap, didakwa, atau dijatuhi hukuman sejak kudeta. Sekitar 593 orang ditahan.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani)