TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa memblokir jalan raya di seluruh Lebanon untuk hari kelima berturut-turut.
Massa membakar ban dan perabot saat pemerintahan sementara Perdana Menteri (PM) Lebanon Hassan Diab mengancam akan berhenti melaksanakan tugasnya.
Keputusan Diab untuk mogok kerja ini dilakukan untuk menekan politisi Lebanon agar segera membentuk pemerintahan baru.
Mengutip Al Jazeera, unjuk rasa yang berlangsung Sabtu (6/3/2021) terjadi di tengah krisis keuangan Lebanon, di mana nilai pounds Lebanon jatuh ke level terendah 10.000 terhadap dolar pada Selasa (2/3/2021).
Jatuhnya mata uang telah mengakibatkan kenaikan harga yang tajam, serta penundaan kedatangan pengiriman bahan bakar, yang menyebabkan pemadaman listrik yang lebih lama di seluruh negeri, di beberapa daerah yang berlangsung lebih dari 12 jam sehari.
Baca juga: KRI Sultan Iskandar Muda-367 Menunaikan Misi Perdamaian Dunia ke Lebanon
Baca juga: Panglima TNI Melepas Satgas Maritim TNI Konga XXVIII-M ke Lebanon
Di Ibu Kota Lebanon, sekelompok kecil pengunjuk rasa di depan asosiasi perbankan meminta akses ke simpanan mereka dan kemudian berjalan ke gedung Parlemen di pusat kota Beirut untuk mengungkapkan rasa frustrasi mereka.
Sekira 50 demonstran membakar ban di Martyrs 'Square di pusat kota Beirut.
"Satu dolar adalah 10.500 (pounds) dan setiap orang memiliki empat atau lima anak, termasuk orang tua mereka. Mereka (politisi korup) perlu memberi kami makan," teriak seorang pemrotes.
Baca juga: KRI Sultan Iskandar Muda-367 ke Lebanon Latih AL Lebanon dan Cegah Senjata Ilegal Masuk Lebanon
Massa Juga Blokir Jalan Raya di Tripoli
Di Tripoli, kota termiskin di Lebanon, pengunjuk rasa memblokir beberapa jalan dan melakukan aksi duduk di bundaran dekat pelabuhan kota, menyerukan pengunduran diri semua pejabat politik, menurut Kantor Berita Nasional resmi.
Media lokal NNA melaporkan, demonstran juga memblokir jalan yang menghubungkan kota Tripoli, Minnieh dan Akkar, dengan menggunakan truk, tangki air, kontainer sampah, dan batu.
Krisis keuangan Lebanon, yang meletus pada 2019, telah mendorong hampir setengah dari enam juta penduduk ke dalam kemiskinan, membuat sebagian besar orang kehilangan pekerjaan dan tabungan, serta memangkas daya beli konsumen.
Kabinet baru dibentuk dengan harapan dapat melaksanakan reformasi yang diperlukan untuk nendapatkan bantuan Internasional.
Perdana Menteri yang ditunjuk Saad al-Hariri dicalonkan pada Oktober 2020, tetapi dinilai gagal membentuk kabinet baru karena kebuntuan politik dengan Presiden Michel Aoun.
Baca juga: Aktivis Anti-Hizbullah dari Lebanon Ditemukan Tewas di Dalam Mobilnya