TRIBUNNEWS.COM - Militer Myanmar ternyata memiliki pemasukan yang besar dan rahasia untuk menunjang operasi mereka.
Salah satunya yakni Pusat Skydiving Dalam Ruangan di Yangon, salah satu lokasi yang populer di Myanmar.
Tidak banyak yang tahu bahwa tempat yang menyajikan sensasi terjun dari pesawat itu merupakan salah satu kerajaan bisnis militer Myanmar, Tatmadaw.
Mengutip BBC, Tatmadaw mulai terlibat dalam bisnis setelah kudeta sosialis Ne Win pada 1962.
Selama bertahun-tahun, militer harus mandiri dan didorong untuk mengembangkan saham di perusahaan lokal guna mendanai operasi mereka.
Dilansir Al Jazeera, militer membentuk kapitalisme kroni dengan jenderal senior dan perwira, sehingga mampu mengamankan akses ke banyak sektor ekonomi di Myanmar.
Di beberapa daerah, hanya perusahaan militer dan afiliasinya yang diizinkan beroperasi.
Baca juga: Sosok Suster Ann, Biarawati yang Berlutut di Depan Aparat Agar Tidak Menembaki Demonstran Myanmar
Baca juga: Sempat Dikepung Aparat Keamanan, Akhirnya Ratusan Demonstran Myanmar Dibebaskan
Proses tersebut mendapatkan momentum dengan penjualan aset tahun 2011, membuat para jenderal dan keluarga mereka bisa memanfaatkan pembukaan ekonomi untuk mengamankan aset di sektor bisnis Myanmar.
"Ini benar-benar elit dan kroni bisnis yang diuntungkan dari pencurian besar-besaran sumber daya negara ini," kata Anna Roberts, direktur eksekutif Burma Campaign UK.
"Prajurit tidak mendapat keuntungan dan jelas rakyat biasa menderita karena uang yang seharusnya dibelanjakan untuk kesehatan dan pendidikan disalurkan untuk membeli peralatan militer," tambahnya.
Meskipun praktik itu tidak berjalan lagi, dua organisasi bisnis yang didirikan militer pada 1990an masih beroperasi hingga sekarang.
Kedua organisasi tersebut, yakni Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL).
Organisasi itu menjadi sumber utama kekayaan Tatmadaw.
MEC dan MEHL memiliki saham di berbagai bidang mulai dari perbankan, pertambangan, pengolahan tembakau, dan pariwisata.
MEHL juga bertanggung jawab atas dana pensiun militer.
Beberapa pemimpin militer dan keluarganya juga memiliki bisnis yang besar, hingga menjadi sasaran sanksi.
Salah satunya putra pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing, Aung Pyae Sone.
Pyae Sone memiliki sejumlah perusahaan besar berupa resor pantai dan saham mayoritas di operator telekomunikasi.
Menurut para ahli, kudeta militer ini adalah cara untuk melindungi kepentingan bisnis Tatmadaw.
Baca juga: Dikecam Negara Barat karena Kudeta, Militer Myanmar Malah Ingin Dekati AS dan Ingin Jauhi China
Baca juga: Demonstran Myanmar Lawan Senjata Militer dengan Rok dan Pakaian Dalam Perempuan
Laporan PBB pada 2019 menyimpulkan bahwa pendapatan bisnis meningkatkan kemampuan militer melakukan pelanggaran HAM dengan impunitas.
Laporan ini muncul di tengah tindak kekerasan militer Myanmar terhadap komunitas Rohingya.
Melalui jaringan bisnis dan afiliasi milik konglomerat, PBB mengatakan Tatmadaw mampu "melindungi dirinya dari akuntabilitas dan pengawasan".
Rincian tentang struktur dan keuangan MEHL terungkap dalam dua laporan internal, satu diajukan oleh konglomerat pada Januari 2020, dan lainnya dibocorkan kelompok aktivis Justice for Burma dan Amnesty International.
Perusahaan besar dijalankan petinggi militer, termasuk beberapa petinggi kudeta yang saat ini menjabat.
Sekitar sepertiga dari semua pemegang saham adalah unit militer.
Sedangkan sisanya dimiliki oleh mantan personel Tatmadaw dan saat ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)