TRIBUNNEWS.COM - Junta militer melancarkan serangan udara di sepanjang perbatasan barat laut Myanmar.
Menurut Free Burma Rangers, badan bantuan kemanusiaan yang memberikan bantuan medis dan lainnya kepada penduudk desa, pesawat militer Myanmar melakukan tiga serangan pada Minggu malam hingga Senin (28-29/3/2021).
Free Burma Rangers menerangkan, serangan itu tampaknya melukai satu orang tetapi tidak menimbulkan korban jiwa.
Melansir AP News, sekira 3.000 orang diperkirakan menyeberangi sungai yang membatasi Myanmar dengan Thailand.
Baca juga: Semakin Mencekam, Militer Myanmar Tembaki Warga Sipil di Upacara Pemakaman 114 Demonstran yang Tewas
Baca juga: Pangkalan Militernya Direbut, Junta Myanmar Lancarkan Serangan Udara di Wilayah Pemberontak Karen
Video yang direkam hari itu menunjukkan sekelompok penduduk desa, termasuk banyak anak kecil, beristirahat di hutan terbuka setelah meninggalkan rumah mereka.
Mereka membawa harta mereka dalam bundel dan keranjang.
Berdasarkan penuturan pekerja untuk dua badan bantuan kemanusiaan, dalam serangan Minggu sebelumnya, pesawat militer Myanmar menjatuhkan bom pada posisi gerilyawan Karen di sebuah daerah di Sungai Salween di distrik Mutraw negara bagian Karen.
"Dua orang tewas dan banyak lagi yang terluka dalam serangan itu," kata seorang anggota Free Burma Rangers.
Pada Sabtu malam, dua pesawat militer Myanmar membom dua kali desa Deh Bu Noh di distrik Mutraw, menewaskan sedikitnya dua penduduk desa.
Serangan tersebut mungkin merupakan pembalasan bagi Tentara Pembebasan Nasional Karen, yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi rakyat Karen, menyerang dan merebut pos militer pemerintah pada Sabtu pagi.
Baca juga: Ketika Korban Berjatuhan dalam Demo, Militer Myanmar Gelar Pesta Mewah Hari Angkatan Bersenjata
Menurut Thoolei News, sebuah situs online yang memuat informasi resmi dari kelompok Persatuan Nasional Karen (KNU), kelompok etnis bersenjata, delapan tentara pemerintah termasuk seorang letnan dua ditangkap dalam serangan itu dan 10 orang tewas, termasuk seorang letnan kolonel yang merupakan wakil komandan batalyon.
Laporan itu mengatakan satu gerilyawan Karen telah tewas.
Ketegangan di perbatasan terjadi ketika para pemimpin perlawanan terhadap kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih Myanmar berusaha agar Karen dan kelompok etnis lainnya bersatu dan bergabung dengan mereka sebagai sekutu, yang akan menambah elemen bersenjata dalam perjuangan mereka.
Baca juga: Junta Myanmar Sebut akan Lindungi Rakyat, tapi 114 Orang Dibunuh di Hari Angkatan Bersenjata
Serangan udara menandai peningkatan penumpasan yang semakin keras oleh pemerintah Myanmar terhadap penentang pengambilalihan militer 1 Februari.
Sekira 114 orang di seluruh negeri dibunuh oleh pasukan keamanan pada Sabtu (27/3/2021) saja, termasuk beberapa anak.
Jumlah korban ini pun mendorong seorang ahli hak asasi manusia PBB untuk menuduh junta melakukan "pembunuhan massal" dan mengkritik masyarakat internasional karena tidak berbuat cukup untuk menghentikannya.
Dewan Keamanan kemungkinan akan mengadakan konsultasi tertutup tentang situasi yang meningkat di Myanmar, diplomat PBB mengatakan Minggu, berbicara tanpa menyebut nama sebelum pengumuman resmi.
Dewan tersebut mengutuk kekerasan dan menyerukan pemulihan demokrasi, tetapi belum mempertimbangkan kemungkinan sanksi terhadap militer, yang akan membutuhkan dukungan atau abstain dari tetangga dan sahabat Myanmar, China.
Baca juga: Korban Tewas dalam Tindakan Keras Pascakudeta Myanmar Lebih dari 300 Orang
Kudeta, yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, membalikkan kemajuan bertahun-tahun menuju demokrasi setelah lima dekade pemerintahan militer.
Itu sekali lagi membuat Myanmar menjadi fokus pengawasan internasional karena pasukan keamanan telah berulang kali menembak ke kerumunan pengunjuk rasa.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, yang menghitung kematian yang dapat diverifikasi melaporkan, hingga Minggu, sekira 459 orang telah tewas sejak pengambilalihan tersebut.
Jumlah korban sebenarnya diperkirakan lebih tinggi.
Berita lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)