News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

COVAX Targetkan Distribusi Vaksin ke 100 Negara Beberapa Pekan ke Depan

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto yang diambil pada 24 Februari 2021 ini menunjukkan logo Emirates Airlines di sebelah tag Covax pada pengiriman vaksin Covid-19 dari program vaksinasi Covid-19 global Covax, di Bandara Internasional Kotoka di Accra. Ghana menerima pengiriman pertama vaksin Covid-19 dari Covax, skema global untuk mendapatkan dan mendistribusikan inokulasi secara gratis, saat dunia berlomba untuk mengatasi pandemi. Covax, diluncurkan April lalu untuk membantu memastikan distribusi yang lebih adil dari vaksin virus korona antara negara kaya dan miskin, mengatakan akan memberikan dua miliar dosis kepada anggotanya pada akhir tahun.

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM , JENEWA - Kepala Eksekutif Gavi Alliance sekaligus Ahli Epidemiologi, Seth Berkley mengatakan Fasilitas COVAX menargetkan vaksin virus corona (Covid-19) dikirimkan ke lebih dari 100 negara dalam beberapa pekan ke depan.

Saat ini distribusi vaksin melalui skema ini pun baru sampai ke 84 negara karena terkendala kekurangan pasokan sebagai faktor pembatas.

"Jika kami memiliki lebih banyak dosis, kami dapat menyediakannya," kata Berkley.

Gavi Alliance merupakan aliansi yang juga bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa lembaga lainnya untuk menyediakan vaksin yang adil bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Baca juga: Taiwan Sebut Batch Pertama Vaksin COVAX akan Tiba Minggu

"Apa yang kita bicarakan sekarang pada akhirnya adalah mendapatkan akses ke fasilitas manufaktur yang besar. Setelah kebutuhan Amerika Serikat (AS) terpenuhi pada akhir tahun ini, vaksin itu benar-benar dapat digunakan seluruh dunia," jelas Berkley.

Dikutip dari laman Bloomberg, Senin (5/4/2021), negara-negara seperti AS, Inggris, Israel, serta negara maju, pada umumnya terus melanjutkan program vaksinasi mereka sejak suntikan pertama disetujui pada akhir 2020.

Mirisnya, di belahan dunia lainnya, masih ada lebih dari 30 negara yang belum atau tidak memiliki program vaksinasi mereka, termasuk sebagian besar negara di Afrika.

"Tantangan besar di sini adalah ketidakadilan yang kita bicarakan antara negara maju dengan negara miskin dan berkembang," tegas Berkley.

Baca juga: Jatah 1,1 Juta Dosis Vaksin AstraZeneca dari COVAX untuk Indonesia Tiba April Ini

Lalu apakah 'nasionalisme vaksin' akan memperpanjang masa pandemi ?

Banyak negara maju yang kini masih mementingkan kepentingan negaranya dibandingkan berbagi vaksin dengan negara yang belum memiliki akses untuk mendapatkan vaksin.

Berkley menegaskan bahwa dirinya serta banyak orang akan merasa aman, jika semua orang dalam kondisi yang aman terhadap Covid-19, ini berarti semua orang harus memperoleh vaksinasi.

Menurutnya, selama masih ada populasi dalam jumlah besar yang belum divaksinasi, potensi terkait munculnya varian baru Covid-19 akan selalu ada.

"Kami akan aman jika semua orang aman, dan tidak ada yang memberikan informasi kepada kami tentang varian baru ini. Karena jika kami memiliki populasi besar yang tidak divaksinasi, maka ada risiko kami akan melihat varian baru bermunculan dan mereka akan terus menyebar di seluruh dunia," papar Berkley.

Baca juga: 360.000 Dosis Vaksin COVAX Akhirnya Tiba di Yaman

Berkley mengatakan bahwa COVAX yang merupakan program vaksinasi global terbesar dalam sejarah, telah memesan lebih dari 2 miliar dosis.

Namun sebagian besar vaksin ini akan didistribusikan pada paruh kedua tahun ini.

Berkley mengaitkan penundaan itu dengan istilah 'nasionalisme vaksin', ini berarti hanya ada sedikit dosis yang tersedia untuk global.

India misalnya, negara ini telah menjadi pemasok vaksin terbesar di dunia, khususnya untuk negara miskin dan berkembang.

Negara tersebut kini telah memangkas ekspor vaksinnya dalam upaya untuk lebih fokus melakukan vaksinasi terhadap warganya sendiri sebagai tanggapan terhadap munculnya gelombang baru Covid-19 di sana.

"Kami telah memperkirakan, pada bulan Maret dan April kami akan memperoleh sekitar 90 juta dosis. Tapi kami curiga bahwa kami akan mendapatkan jumlah yang jauh lebih sedikit dari itu, dan itu tentunya akan menjadi masalah, tegas Berkley.

Sementara itu di AS, Presiden Joe Biden pada awal Maret lalu telah memerintahkan tindakan vaksinasi terhadap tiap orang dewasa Amerika, masing-masing memperoleh dua dosis vaksin.

Uni Eropa (UE), Kanada dan Meksiko telah meminta AS mempertimbangkan rencananya untuk berbagi dosis secara lebih luas, termasuk vaksin yang belum disetujui untuk digunakan di AS.

Berkley mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan Biden, AS telah menjadi 'pendukung Gavi dan COVAX yang luar biasa'.

Ia berharap negara tersebut akan memberikan akses bagi negara miskin dan berkembang untuk mendapatkan kapasitas produksi.

"Setelah kebutuhan AS terpenuhi, fasilitas tersebut benar-benar dapat digunakan bagi seluruh dunia, yang dapat membantu menghentikan pandemi akut," pungkas Berkley.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini