TRIBUNNEWS.COM - Setelah dilanda kekerasan bersenjata di negara bagian selatan, Amhara, Kementerian Pertahanan Ethiopia mengumumkan keadaan darurat.
Pengumuman keadaan darurat tersebut disampaikan pada Minggu, (19/4/2021).
Dilansir Aljazeera, keputusan keadaan darurat tersebut diambil lantaran selama tiga hari terakhir masih terjadi kekerasan bersenjata yang mematikan.
Tidak hanya serangan bersenjata, harta benda masyarakat sipil juga dirusak oleh kelompok bersenjata.
Baca juga: Negara-negara Afrika Terima 26 Jutaan Dosis Vaksin COVAX
Baca juga: Afghanistan Takut Terjadi Perang Saudara saat Amerika Tarik Semua Pasukan Militernya Nanti
Akibat dari keadaan tersebut, banyak warga sipil melarikan diri dari rumah tinggalnya.
Pusat dari kekerasan bersenjata tersebut berada di Oromo, Amhara.
Meskipun mayoritas kelompok etnis Amhara menempati posisi kedua di Ethiopia, tapi untuk daerah Oromo mayoritas dihuni oleh etnis Oromos.
Saat ini pemerintah setempat sudah mengerahkan pasukan ke negara bagian selatan, khususnya Oromo.
Untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang mengusik masyarakat sipil.
Baca juga: Iran Takkan Berunding Langsung dengan AS Terkait Kesepakatan Nuklir
Baca juga: Thailand Temukan Varian Baru Virus Corona Afrika Selatan dalam Karantina
Awal Mula Kekerasan Bersenjata
Kepala Administratif daerah Jile-Temuga, Oromo, Jemal Hassen Mohammed, menyebutkan kekerasan dimulai pada 19 Maret 2021.
Pemantiknya adalah penembakan imam masjid etnis Oromo.
Kejadian tersebut memicu bentrokan antara tentara keamanan dan warga sipil etnis Oromo.
Korban jiwa yang dilaporkan Kepala Ombudsman Ethiopia, Endale Haile, mencapai 300 orang meninggal dunia hingga akhir Maret kemarin.
Disebutkan, kekerasan bersenjata ini terindikasi karena akan diselengarakannya pemilihan nasional pada 5 Juni 2020.
Baca juga: Kerajaan Inggris Akan Kirim Kapal Perang ke Perairan Ukraina
Baca juga: Rusia Sebut Sanksi Akan Mendorong Myanmar Menuju Perang Saudara
Ketua Dewan Pemilihan Nasional, Birtukan Medeksa, mengatakan ketidakamanan telah menghentikan sementara pendaftaran pemilih di beberapa lokasi.
Birtukan Medeksa mengatakan kerusuhan yang berlanjut dapat menghambat upaya untuk mengatur pemungutan suara.
Terutama di zona khusus Shoa Utara dan Oromo, daerah yang kini mengalami kekerasan bersenjata.
Perdana Menteri Abiy Ahmed ditengarai bertanggung jawab atas insiden ini.
Pasalnya kekerasan bersenjata juga melibatkan Partai Kemakmuran partai pendukung Abiy Ahmed, terutama bentrokan antara sayap Oromo dan Amhara dalam tubuh partai.
Baca juga: Akhiri Perang 20 Tahun, Joe Biden akan Tarik Tentara AS dari Afghanistan Paling Lambat 11 September
Baca juga: Joe Biden Hentikan Perang AS-Taliban di Afghanistan: Ini Waktunya Akhiri Forever War
Tidak Hanya di Amhara
Keadaan darurat perang tidak hanya terjadi di Amhara negara bagian selatan Ethiopia.
Di negara bagian utara Ethiopia, tepatnya wilayah Tigray sudah terjadi peperangan sebelum inseden di Amhara.
Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) adalah kelompok yang terus memberontak pada pemerintah.
Meskipun sudah dilakukan pelucutan senjata, namun anggota TPLF terus membentuk kantung-kantung pemberontakan di Tigray.
Meskipun militer Ethiopia mendapat dukungan dari wilayah Eritrea dan Amhara, yang berbatasan dengan Tigray di selatan sebagian besar pemimpin TPLF tetap dalam pelarian.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Tak Berminat Selesaikan Konflik Israel-Palestina
Baca juga: Reaksi Biden Tahu Menterinya Cekcok dengan China di KTT Anchorage: Saya Bangga
Kelompok baru pemberuntakan pun muncul setelah pelucutan senjata, yaitu Pasukan Pertahanan Tigray.
Pemberontakan di Tigray dipicu kekecewaan dan kemarahan akibat tidak diselesaikannya permasalahan pembunuhan massal dan pemerkosaan, termasuk yang dilakukan oleh tentara dari Eritrea, musuh bebuyutan TPLF.
Sebelumnya, pada 2018 Perdana Menteri Abiy Ahme telah memutuskan untuk mengadakan perdamiaan setelah perang perbatasan yang panjang antara Eritrea dan Tigray.
Namun, Perdana Menteri Abiy Ahme mendapat tudingan telah berkomplot dengan Eritrea untuk mengejar para pemimpin Tigray yang sekarang buron.
Atas situasi tersebut pemberontakan di Tigray terus terjadi hingga kini meskipun perdamiaan sudah jadi kesepakatan bersama.
Kepala kawasan Tigray sementara, Mulu Nega menyebutkan untuk mengatasi pemberontakan perlu waktu lama.
Proses perundingan tidak bisa digelar secepat kilat, Mulu Nega menyebutkan tengah berusaha untuk meminamalisir pemberontakan di daerahnya.
Mulu Naga sendiri adalah orang kepercayaan Perdana Menteri Abiy Ahme untuk menaklukan pemberontakan di Tigray.
(Tribunnews.com/Triyo)