Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi baru kepada Myanmar, Rabu (21/4/2021) waktu setempat.
Kali ini sanksi diberikan kepada dua perusahaan milik negara (BUMN) dalam serangkaian tindakan hukuman menyusul kudeta militer dan pembunuhan demonstran sejak pengambilalihan kekuasaan sejak 1 Februari lalu.
Departemen Keuangan AS mengatakan pihaknya menjatuhkan sanksi kepada Myanmar Timber Enterprise dan Myanmar Pearl Enterprise yang masing-masing bergerak di bidang industri mutiara dan kayu.
Dua BUMN tersebut merupakan sumber pendapatan bagi militer Myanmar.
"Tindakan hari ini menunjukkan komitmen Amerika Serikat untuk menargetkan saluran pendanaan khusus ini dan mempromosikan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kudeta dan kekerasan yang sedang berlangsung," ujar direktur Kantor Pengendalian Aset Asing Departemen Keuangan AS, Andrea Gack seperti dilansir Reuters dan Channel News Asia, Kamis (22/4/2021).
Baca juga: PBB: Jutaan Orang Terancam Kelaparan di Myanmar
Negara Asia Tenggara itu telah mengalami krisis sejak kudeta Februari ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, dengan aksi protes hampir setiap hari dan tindakan kekerasan oleh junta terjadi di mana-mana.
Ratusan orang telah tewas.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis, mengatakan 738 orang dibunuh aparat keamanan Myanmar sejak kudeta dan 3.300 orang berada dalam penahanan. Sebanyak 20 orang lainnya telah dijatuhi hukuman mati.
Washington telah merespons dengan menargetkan pendapatan militer melalui beberapa kali sanksi.
Baca juga: Lagi, Amerika Serikat Menjatuhkan Sanksi pada 2 Perusahaan yang Mendanai Junta Militer Myanmar
Uni Eropa Jatuhkan Sanksi kepada 10 Pejabat Junta Myanmar dan 2 Perusahaan
Uni Eropa kembali menjatuhkan sanksi terhadap 10 pejabat junta Myanmar dan dua perusahaan yang terkait dengan militer atas kudeta dan tindakan kerasasan berdarah terhadap demonstran.
“Individu-individu itu "semua bertanggung jawab merusak demokrasi dan aturan hukum di Myanmar, dan untuk keputusan represif dan pelanggaran HAM yang serius," demikian pernyataan negara-negara anggota setelah pertemuan virtual para menteri luar negeri Uni Eropa, sepeeri dilansir AFP dan Channel News Asia, Selasa (20/4/2021).
Baca juga: KTT ASEAN Bahas Krisis Myanmar di Tengah Uni Eropa Perluas Sanksi Kepada Junta Militer
Selain individu, ada dua perusahaan, yakni Myanmar Economic Holdings Public Company Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation Limited (MEC).
Dua perusahaan itu adalah perusahaan yang "dimiliki dan dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw), dan memberikan pendapatan untuk itu".
"Meningkatnya kebrutalan junta militer memiliki konsekuensi yang jelas," cuit kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell setelah memimpin pertemuan para menteri Uni Eropa.
Para diplomat Uni Eropa mengatakan para pejabat yang terkena sanksi sebagian besar adalah anggota Dewan Administrasi Negara yang berkuasa.
Penambahan mereka membawa jumlahnya menjadi 35 elite junta militer di Myanmar masuk dalam daftar sanksi, yang memberlakukan larangan perjalanan dan pembekuan aset.
Pernyataan itu mengatakan negara-negara Uni Eropa bersatu dalam "mengutuk tindakan brutal junta militer" dan bertujuan untuk membawa perubahan dalam kepemimpinan junta.
Pesan yang dikirimkan kepada penguasa militer Myanmar, kata mereka, "berlanjut di jalan saat ini hanya akan membawa penderitaan lebih lanjut dan tidak akan pernah memberikan legitimasi".
AS dan Inggris telah menjatuhkan sanksi kepada MEC dan MEHL, yang mendominasi sektor-sektor termasuk perdagangan, alkohol, rokok dan barang-barang konsumsi. Washington telah memukul perusahaan permata negara Myanmar juga.
Myanmar telah mengalami kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dari pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, memicu pemberontakan besar-besaran yang junta telah berusaha untuk memadamkannya menggunakan kekuatan mematikan.
Militer telah meningkatkan upaya untuk menghancurkan perbedaan pendapat menyusul demonstrasi massa, dengan setidaknya 737 warga sipil tewas dan jurnalis semakin diserang. (Reuters/AFP/Channel Nws Asia)