Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW DELHI - Menteri Luar Negeri (Menlu) India Subrahmanyam Jaishankar akan berpartisipasi secara virtual dalam acara G7 yang dihelat di London, Inggris, pada hari Minggu mendatang, setelah dirinya disebut 'berpotensi' terpapar virus corona (Covid-19).
Meskipun India bukan merupakan anggota G7, negara itu telah diundang sebagai tamu dalam pertemuan tersebut, di tengah lonjakan infeksi yang sangat signifikan.
Dikutip dari laman The Independent, Rabu (5/5/2021), sebanyak 382.000 kasus baru dilaporkan terjadi dalam waktu 24 jam hingga Rabu pagi waktu setempat.
Baca juga: Kasus Covid-19 Naik, Malaysia Larang Warganya Gelar Open House Hari Raya Idul Fitri 2021
"Saya diberitahu kemarin malam tentang kemungkinan kasus positif Covid-19. Sebagai ukuran kehati-hatian dan juga pertimbangan untuk keselamatan orang lain, saya memutuskan untuk melakukan keterlibatan saya dalam G7 melalui mode virtual," kata Jaishankar.
Sementara di dalam negeri, partai oposisi utama India telah menyerukan pemberlakuan sistem penguncian (lockdown) nasional secara total.
Seruan ini disampaikan sesaat setelah negara itu melewati rekor catatan kasus positif infeksi virus corona (Covid-19) yang mencapai lebih dari 20 juta orang.
"Telah terjadi runtuhnya layanan kesehatan dan lockdown diperlukan untuk 'memutus rantai'," kata seorang Juru bicara partai Kongres, Pawan Khera.
Sementara itu Perdana Menteri (PM) Narendra Modi menolak usulan dari oposisi karena mempertimbangkan dampak ekonomi yang akan dialami India.
Sebelumnya India mencatat lebih dari 355.000 kasus pada hari Selasa lalu, angka ini turun dari capaian rekor sebelumnya yang mencapai lebih dari 400.000 infeksi harian pada 30 April lalu.
"Kami sekarang dipaksa, tidak ada pilihan, kami harus menggunakan lockdown nasional untuk memutus rantai penularan dan untuk memulihkan beberapa ketertiban di layanan kesehatan," jelas Khera.
Dikutip dari laman BBC, Rabu (5/5/2021), Rahul Gandhi, seorang Pemimpin senior Partai Kongres mengatakan bahwa tidak ada cara lain untuk menghentikan penyebaran virus itu.
Seruan yang sama juga datang dari para pemimpin bisnis, pakar kesehatan internasional dan politisi senior lainnya.
Anggota gugus tugas Covid-19 India, yang kerap memberikan masukan kepada pemerintah pusat berupaya keras untuk meminta Modi menerapkan kebijakan tersebut selama dua minggu.
Di sisi lain, Pakar Kesehatan Masyarakat terkemuka Amerika Serikat (AS) Dr Anthony Fauci menggambarkan situasinya sebagai hal yang 'sangat serius'.
Ia menilai bahwa lockdown nasional perlu dilakukan bersamaan dengan upaya vaksinasi besar-besaran serta pembangunan rumah sakit darurat.
Perlu diketahui, selama ini keputusan untuk memberlakukan pembatasan di India ini dibuat oleh otoritas masing-masing negara bagian, bukan oleh pemerintah pusat.
Modi mengatakan bahwa negara seharusnya hanya mempertimbangkan pembatasan maupun lockdown sebagai 'opsi terakhir'.
Namun hingga saat ini banyak negara bagian yang masih memberlakukan pembatasan.
Negara bagian utara Bihar adalah yang terbaru mengumumkan lockdown penuh.
Sedangkan New Delhi, dan pusat keuangan Mumbai menerapkan sistem pembatasan.
Modi telah mendapatkan kecaman keras pada tahun lalu karena memberlakukan lockdown nasional dengan pemberitahuan yang disampaikan secara tiba-tiba, yakni hanya kurang dari empat jam.
Ini tentunya menyebabkan krisis kemanusiaan, karena puluhan ribu pekerja migran terpaksa berjalan ratusan kilometer untuk kembali ke desa asal mereka.
Lockdown saat itu juga menyebabkan output ekonomi India turun dengan rekor 24 persen pada periode April dan Juni 2020, jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Pemerintah pusat mengatakan bahwa jika lockdown nasional diberlakukan kembali, akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi perekonomian negara itu.
Terjadinya gelombang infeksi kedua India sebenarnya dipicu pelonggaran protokol kesehatan dan adanya festival publik secara besar-besaran serta kampanye politik.
Lonjakan angka positif Covid-19 ini kemudian membebani seluruh rumah sakit di negara itu.
Tindakan seperti penundaan dalam pengujian, diagnosis maupun pengobatan, serta terbatasnya tempat perawatan pasien kritis dan obat-obatan esensial termasuk oksigen, telah mengakibatkan lonjakan angka kematian.
Negara di kawasan Asia Selatan itu sejauh ini telah melaporkan lebih dari 222.000 kematian akibat virus tersebut.
Namun para ahli mengatakan bahwa masih banyak jumlah kematian akibat Covid-19 di India yang belum dilaporkan.
Fenomena ini pun membuat antrean yang sangat panjang di krematorium, tumpukan kayu pemakaman massal, bahkan kota-kota kehabisan ruang untuk menguburkan atau mengkremasi orang yang mati.