TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Jurnalis asal Inggris dan kolumnis Russia Today, Damian Wilson, memperingatkan, Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak boleh meremehkan peringatan para jenderal dan prajurit Prancis.
Damian yang sekarang jadi konsultan industri keuangan dan penasihat khusus komunikasi politik di Inggris dan Uni Eropa, lewat analisisnya yang diunggah di RT.com, mengatakan, peringatan perang saudara itu memiliki dasar empiris.
Ada sekurangnya 20 pensiunan jenderal militer Prancis mengutarakan kecemasan atas berkembangnya ekstrimisme keagamaan di negaranya.
Rentetan kekerasan dan terorisme di Prancis membuat banyak warga setempat berbagi ketakutan mereka.
Meskipun Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa, ketegangan yang membara atas tempat Islam di republik sekuler itu akan terus mendidih.
Baca juga: Anggota Militer Aktif Prancis Peringatkan Potensi Perang Saudara di Negara Itu
Baca juga: Siswi Prancis Mengaku Berbohong Setelah Menuduh Samuel Paty Menunjukkan Karikatur Nabi Muhammad
Hanya dalam waktu seminggu, telah terjadi kontroversi mengenai keputusan pengadilan untuk membebaskan seorang pembunuh.
Pelaku membunuh seorang polisi di tangga kantornya. Keputusan ini semakin memperkuat tanda-tanda disintegrasi negara dan perang saudara.
Surat keresahan para jenderal dan 80 perwira/prajurit Prancis itu diterbitkan majalah Valeurs Actuelles pada akhir April 2021.
“Disintegrasi dengan kelompok Islamis dari gerombolan banlieue yang memisahkan sebagian besar bangsa dan mengubahnya menjadi wilayah yang tunduk pada dogma yang bertentangan dengan konstitusi kita,” lanjut mereka.
"Ini bukan lagi waktu untuk menunda-nunda, jika tidak besok perang saudara akan mengakhiri kekacauan yang berkembang ini, dan kematian, yang akan menjadi tanggung jawabmu, akan berjumlah ribuan," tulis mereka.
Bahasa yang digunakan di surat itu termasuk kasar, lugas tapi menurut Damian Wilson mungkin mereka benar.
Di matanya, sudah terlampau banyak kekejaman terjadi di Prancis dan itu menggunakan symbol-simbol Islam.
Selama empat tahun terakhir, 14 serangan yang dilakukan atas nama Islam radikal telah mengakibatkan kematian 25 orang di Prancis. Sebanyak 36 rencana serangan lain telah digagalkan.
Peristiwa terbaru terjadi beberapa waktu lalu, ketika ibu dua anak Stéphanie Monfeture, seorang pekerja polisi berusia 49 tahun, terbunuh di aula depan kantor polisi Rambouillet oleh seorang warga Tunisia berusia 36 tahun.
Pelaku diidentifikasi bernama Jamel G. Ia memekikkan seruan saat melakukan perbuatan kejinya di komplek kepolisian itu.
Pelaku ditembak mati di tempat kejadian. Meskipun sifatnya brutal, penyerang Monfeture menerima pembalasan yang cepat, yang dapat menimbulkan rasa keadilan.
Berbeda yang dialami keluarga dan teman Sarah Halimi. Pengadilan memutuskan untuk tidak mengadili pria berusia 27 tahun yang menyerang, menikam, dan melemparkan wanita Yahudi berusia 65 tahun itu.
Sarah Halimi seorang pensiunan dokter dan guru taman kanak-kanak, yang merupakan tetangga pelaku. Halimi dilempar dari balkon lantai tiga oleh pelaku yang memekikkan takbir.
Pengadilan setuju dengan panel psikiater, bahwa Kobili Traoré dipengaruhi narkotika saat menyerang Sarah Halimi pada 2017.
Karena itu, ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana, dan oleh karena itu tidak akan diadili.
Putusan itu dibandingkan dengan kasus seorang pria Marseille berusia 51 tahun, yang saat mabuk dan menggunakan kokain melemparkan anjing tetangganya dari jendela lantai empat pada malam tahun baru.
Pelaku mengklaim dia tidak ingat apa-apa tentang hal itu. Tapi ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara, tapi dapat potongan satu tahun.
Damian Wilson menyebut, mempertimbangkan apa yang tampaknya merupakan kegagalan besar menciptakan rasa keadilan, dan serangan berdarah tanpa henti terhadap warga negara Prancis biasa, public seharusnya bisa memahami latar belakang para jenderal itu.
Pemimpin oposisi dan tokoh kanan, Marine Le Pen, menyatakan dukungannya atas sikap para jenderal itu.
"Sebagai warga negara dan sebagai politisi wanita, saya mendukung analisis Anda dan berbagi penderitaan Anda," tulis Le Pen.
Sebaliknya, Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly, memilih menyerang Le Pen atas upayanya yang jelas untuk mempolitisasi militer.
"Ingin mempolitisasi tentara adalah untuk melemahkan Prancis," kata Menhan Parly.
“Malu pada mereka yang, demi kepentingan pribadi, melemahkan Prancis. Tentara Republik melayani bangsa, tidak orang lain," lanjutnya.
Bukan hanya Le Pen yang dikritiknya. Parly menuding para jenderal yang menulis surat itu sebagai pemarah dan akan jadi target utama sanksi pemerintah.
“Ke-20 pensiunan jenderal yang tidak bertanggung jawab itu hanya mewakili diri mereka sendiri," katanya.
“Siapakah pensiunan jenderal yang mengklaim membela Prancis saat mereka mengobarkan api kebencian? Siapakah pensiunan jenderal yang mengklaim memerangi disintegrasi Prancis dengan mengancam perang saudara? " tanyanya.
Menhan Parly terus mengecam para penulis surat itu. Menurut Damian Wilson, seharusnya Menhan Parly bersikap lebih bijak mengingat korban terorisme di Prancis terus meningkat.
Pmerintah Prancis berjuang untuk memenangkan kepercayaan publik atas cara mereka menangani Islamisme radikal.
“Mungkin Parly seharusnya memilih pendekatan yang lebih berdamai,” kata Wilson. Sikap seperti itu justru akan memberi pesan buruk kepada keluarga Stéphanie Montfeture dan Sarah Halimi.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)