TRIBUNNEWS.COM - Israel dan militan Palestina sepakati gencatan senjata untuk mengakhiri konflik yang berlangsung 11 hari terakhir.
Dilansir The Guardian, setidaknya 230 warga yang tinggal di Gaza dan 12 orang Israel tewas dalam serangan tersebut.
Gencatan senjata mulai berlaku Jumat (21/5/2021) pukul 2 pagi waktu setempat, atau pukul 06.00 WIB.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa kabinet telah menyetujui gencatan senjata "timbal balik dan tanpa syarat" yang diusulkan oleh Mesir yang telah menengahi pembicaraan.
Hamas dan Jihad Islam juga mengonfirmasi kesepakatan "bersama dan simultan" tersebut.
Baca juga: Pejabat Hamas Prediksi Gencatan Senjata Israel-Palestina akan Segera Terjadi: Mungkin dalam 24 Jam
Baca juga: Panggilan Telepon Keempat Biden dan Netanyahu, Bahas Jalan Menuju Gencatan Senjata Israel-Palestina
Semenjak pertempuran dimulai pada 10 Mei, pejabat kesehatan Palestina mengatakan 232 orang - termasuk 65 anak - telah tewas dalam pemboman udara yang menghancurkan Gaza.
Otoritas Israel menyebutkan korban tewas hingga saat ini pada 12 di Israel, di mana serangan roket berulang kali telah menyebabkan kepanikan dan membuat orang berlarian ke tempat penampungan.
Sebelumnya pada hari Kamis, militan Israel dan Palestina menghentikan tembakan mereka selama beberapa jam.
Ketenangan tidak bertahan lama, tetapi putaran pertempuran sebelumnya memiliki ketenangan yang serupa dalam kekerasan, yang dipandang sebagai upaya membangun kepercayaan, sebelum secara resmi mengakhiri permusuhan.
Awal Mula Pecahnya Kembali Konflik Israel-Palestina
Dilansir Mirror, konflik terjadi di bulan Ramadhan tepatnya pada perayaan Hari Yerusalem (Minggu 9 Mei hingga Senin 10 Mei), menandai konflik Arab-Israel 1967 atau Perang Enam Hari.
Warga Palestina marah karena dibatasinya gerakan mereka ke Kota Tua Yerusalem, tempat mereka berkumpul untuk sholat selama Ramadan.
Yerusalem Timur, yang juga dianggap sakral secara agama oleh orang Palestina, dicaplok oleh Israel pada tahun 1967.
Kebijakan pemukim Israel di wilayah itu telah meningkatkan kekerasan antara warga Palestina dan polisi yang dituduh melakukan kekerasan.
Konfrontasi juga berkobar di kompleks Masjid al-Aqsa, situs Islam tersuci ketiga, yang dibangun di Temple Mount, situs tersuci dalam Yudaisme.
Selama empat hari berturut-turut, polisi Israel menembakkan gas air mata, granat kejut, dan peluru karet ke arah warga Palestina di kompleks tersebut, yang dibalas dengan melemparkan batu dan kursi.
Kebijakan pemukim di Yerusalem
Lebih dari 600.000 orang Israel hidup sebagai pemukim di Tepi Barat dan Yerusalem Timur di rumah-rumah yang telah dibangun sejak perang 1967.
Secara internasional, permukiman itu ilegal.
Warga Palestina marah adanya rencana sidang yang akan memutuskan penggusuran penduduknya dari Yerusalem Timur.
Penggusuran warga Palestina itu dimaksudkan untuk memberi jalan bagi lebih banyak pemukim Yahudi.
Pengadilan Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pemukim Israel melanggar hukum internasional.
Pemukiman melanggar Konvensi Jenewa Keempat yang memutuskan:
"Yang menduduki kekuasaan tidak boleh mendeportasi atau mentransfer sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya."
Karena Israel adalah yang menduduki kekuasaan, tindakan itu melanggar hukum, meskipun ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah ini berada dalam wilayah kekuasaannya.
Ada lebih dari selusin permukiman di luar Yerusalem yang dianggap oleh Israel berada di dalam wilayah Israel meski secara internasional ilegal.
Sekitar tiga persen dari Tepi Barat dihuni oleh pemukim, yang berjumlah sekitar 400.000 dan ada sekitar 200.000 di Yerusalem timur.
Hanya ada 130.000 rumah pemukim yang disetujui pemerintah.
Tapi ada juga 100 permukiman lainnya yang disebut “pos terdepan”, didirikan dekat dengan permukiman yang lebih permanen.
Wilayah itu tidak diakui secara resmi tetapi mereka memiliki perlindungan militer dari Angkatan Pertahanan Israel.
Kombinasi dari pemerintah Israel yang lemah dan otoritas Palestina yang tidak populer membuat Hamas di Gaza putus asa untuk memproyeksikan kekuatan melalui serangan.
Kondisi ini menarik perhatian militan Palestina, yang sangat membutuhkan kepemimpinan yang kuat, dan juga menenangkan para paymaster dari luar seperti Iran, yang memasoknya dengan senjata.
Di Hari Yerusalem, dari malam 9 Mei hingga 10 Mei, pembatasan Ramadhan pada jamaah di Kota Tua dan kasus penggusuran pemukim seolah menciptakan badai yang sempurna.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Berita lain seputar Israel Serang Jalur Gaza