TRIBUNNEWS.COM, PARIS - PADA 1832 Kota Paris, Prancis, dilanda wabah kolera paling buruk dalam sejarahnya. Penderita kolera pertama mulai bermunculan pada Maret 1832, menunjukkan beragam gejala yang membuat bingung para dokter.
Gejalanya berupa demam, sakit pada dada, muntah, sakit kepala, dan apoplexy (pendarahan yang tidak terkontrol sehingga mengkibatkan kehilangan kesadaran dan kelumpuhan). Rumah sakit menjadi penuh dan pada akhir bulan semua pasien merupakan penderita kolera.
Penyair Jerman, Heinrich Heine, sedang berada di Kota Paris saat wabah kolera merebak. Ia kemudian menggambarkan situasinya dalam sebuah jurnal.
“Malam itu acara pesta dansa lebih padat dari biasanya, suara tawa teredam oleh bisingnya musik. Orang-orang tenggelam dalam hiruk pikuk, tarian yang cukup serius, dan menenggak semua jenis es dan minuman dingin lain,” tulis Heine.
Tiba-tiba pelawak yang paling lucu merasakan dingin di kedua kakinya. Ia lalu melepas topengnya, menunjukkan wajah membiru keunguan sehingga mengejutkan semua orang.
Suara tawa berhenti dan korban segera dilarikan ke Hotel-Dieu, rumah sakit utama. Bukan hanya sang pelawak yang terjangkit kolera mendadak, tetapi jua sejumlah pengunjung.
Para pasien itu kehilangan nyawa beberapa saat setelah tiba di rumah sakit. Korban meninggal segera dikubur dalam kondisi masih mengenakan pakaian pesta dan pakaian pelawak (baju kotak-kotak).
Korban meninggal sebagian besar ditempatkan di kantung jenazah karena persediaan peti mati tidak mencukupi. “Saya ingat bagaimana dua anak laki-laki kecil dengan wajah sedih berdiri di samping saya, seorang di antaranya bertanya apakah saya dapat memberitahu kantong mana yang berisi ayah mereka,” tulis Heine.
Selama April, kereta-kereta penuh mayat berderap di sepanjang jalan-jalan dan bau kematian memenuhi seisi kota. Satu di antara yang paling membingungkan adalah gejala-gejala yang muncul perlahan-lahan, atau datang tiba-tiba.
Beberapa orang meninggal dalam waktu beberapa jam setelah gejala ditemukan, sedang yang lain tersiksa selama beberapa hari. Mereka disebut menyerupai orang mati walaupun masih hidup. Lidah mereka menjadi sedingin es.
Pada akhir bulan keenam wabah, hampir 19 ribu orang meninggal dunia. Banyak orang menuduh Raja Louis Philipe meracuni air yang digunakan di wilayah-wilayah kelas pekerja.
Kaitan antara sanitasi yang buruk, permukiman yang terlalu padat, dan sistem penyediaan air yang terkontaminasi, belum ditemukan sampai 1854. (feb)
*Dikutip dari buku ‘Bloody History Paris, Wabah Hitam, Revolusi Prancis, hingga Terorisme Modern, karya Ben Hubbard, terbitan Elex Media Komputindo, November 2019.
Baca juga: Save Babi Tolak Pemusnahan Babi akibat Virus Kolera, Pemprov Sumut Bantah: Tak Boleh Sakiti Hewan