TRIBUNNEWS.COM - Aung San Suu Kyi akan dihadapkan dengan lebih banyak pelanggaran atas dugaan korupsi hanya beberapa hari sebelum diadili secara resmi.
Terbaru, Global New Light Of Myanmar yang dikelola pemerintah mengatakan tuduhan baru, muncul di atas serangkaian tuduhan lain, mengikuti penyelidikan Komisi Anti-Korupsi ke Yayasan Daw Khin Kyi.
"Dia dinyatakan bersalah melakukan korupsi menggunakan pangkatnya," kata surat kabar itu, seperti dikutip Tribunnews dari Al Jazeera.
“Jadi dia dijerat dengan UU Tipikor pasal 55.”
Komisi menuduh Aung San Suu Kyi yang berusia 75 tahun menerima $600.000 dan emas dari mantan kepala menteri wilayah Yangon, dan juga melakukan kesalahan atas sejumlah sewa tanah dan properti untuk yayasan, di mana dia adalah ketuanya.
Baca juga: Politisi Myanmar Minta Dukungan Warga Rohingya Melawan Junta Militer
Baca juga: 4 Bulan Kudeta Myanmar: Unjuk Rasa Masih Berlangsung, 37 Ribu Orang Mengungsi dan 840 Orang Tewas
Sejumlah pejabat lain juga dinyatakan bersalah melakukan korupsi karena memberikan izin penggunaan lahan, kata surat kabar itu.
"Berkas kasus dibuka terhadap mereka di kantor polisi kota masing-masing kemarin (Rabu)," kata surat kabar itu.
Aung San Suu Kyi dan anggota senior pemerintahannya ditahan oleh militer pada 1 Februari ketika panglima militer Min Aung Hlaing merebut kekuasaan dan menjerumuskan negara yang bergerak perlahan menuju demokrasi ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Perebutan kekuasaan para jenderal telah memicu demonstrasi berbulan-bulan dan gerakan pembangkangan sipil massal, yang ditanggapi dengan kekerasan.
Lebih dari 850 orang telah tewas dalam tindakan keras tersebut, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, yang telah memantau situasi tersebut.
Aung San Suu Kyi telah didakwa dengan serangkaian pelanggaran termasuk kepemilikan walkie-talkie tanpa izin, melanggar pembatasan virus corona dan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial negara itu.
Al Jazeera menulis, Aung San Suu Kyi akan diadili pada Senin (14/6/2021).
Baca juga: Wartawan AS Ditahan di Myanmar saat Mencoba Naik Pesawat untuk Pulang
Baca juga: Amerika Puji Kepemimpinan Indonesia Tangani Krisis di Myanmar
ASEAN Desak Junta Militer Myanmar Bebaskan Semua Tahanan Politik
Utusan dari Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) menyerukan junta militer Myanmar untuk membebaskan semua tahanan politik dan berdiskusi menerapkan "konsensus" regional untuk mengakhiri gejolak sejak kudeta 1 Februari.
Utusan dari Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tiba di Myanmar pada Kamis (3/6/2021) waktu setempat.
Junta Myanmar telah menunjukkan sedikit tanda mengikuti perjanjian lima poin April lalu di antara 10 negara ASEAN, termasuk Myanmar, yang menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik dan penerimaan utusan khusus ASEAN.
Utusan ASEAN bertemu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing di Ibu Kota Myanmar, Naypyidaw, pada Hari Jumat akhir pekan lalu.
Pernyataan ASEAN tertanggal 5 Juni mengatakan tujuan kunjungan ini adalah untuk membahas bagaimana Myanmar akan mencapai "solusi damai demi kepentingan rakyatnya" dengan menerapkan lima poin tersebut.
Baca juga: Utusan ASEAN Tiba di Myanmar: Akan Bertemu Junta Militer Bahas Penyelesaian Konflik Kekerasan
Dikatakan mereka juga telah "menyerukan pembebasan semua tahanan politik, termasuk perempuan dan anak-anak dan orang asing."
Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk berkomentar.
Global New Light Myanmar yang dikelola negara mengatakan pertemuan itu mencakup "implementasi rekomendasi survei awal ASEAN" dan "aksi teror" oleh lawan junta dan rencana militer untuk menyelenggarakan pemilu.
Junta telah gagal memaksakan kendali sejak merebut kekuasaan dari pemimpin terpilih Aug San Suu Kyi, yang berada di antara lebih dari 4.500 orang yang ditahan sejak kudeta.
Baca juga: Tiga Respons Indonesia Terkait Kunjungan Sekjen ASEAN ke Myanmar
Setidaknya 849 telah tewas, kata kelompok hak asasi. Tentara memperdebatkan sosok itu.
Lawan junta telah menyuarakan frustrasi pada kurangnya tindakan keras oleh ASEAN.
Berita lain terkait dengan Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)