"Fokus Presiden adalah menyampaikan pesan yang penting bagi rakyat Amerika dan menggunakan pertemuan ini sebagai kesempatan untuk memajukan kepentingan kita," kata Psaki.
"Presiden akan mengangkat area di mana dia memiliki perhatian - apakah itu serangan ransomware atau agresi di perbatasan Ukraina, atau pelanggaran hak asasi manusia. Tapi, ada juga area yang kami pikir dapat kami kerjakan bersama," tambahnya.
Baca juga: Tanggapi Ucapan Maaf Haikal Hassan Usai Kritik Soal Haji, Cyber Indonesia: Maaf Tak Hapus Perbuatan
Kena Serangan Cyber, JBS Bayar Uang Tebusan Rp 156,8 Miliar
Diberitakan sebelumnya, perusahaan pengolahan daging terbesar di dunia, JBS yang terkena serangan cyber beberapa waktu lalu, kini telah membayar uang tebusan sebesar 1 juta dolar Amerika atau setara dengan Rp 156,8 miliar.
Jaringan komputer di JBS telah diretas minggu lalu, pihak terkait lantas menutup sementara beberapa operasi di Australia, Kanada, dan AS.
Melansir BBC, JBS mengatakan perlu membayar (uang tebusan) untuk melindungi pelanggannya.
Baca juga: Produksi Daging di Amerika Utara & Austalia Terganggu, JBS Brasil Salahkan Rusia atas Serangan Cyber
Baca juga: Perusahaan Pemasok Daging Terbesar di Dunia, JBS Jadi Sasaran Serangan Cyber
Dalam serangan ransomware, peretas masuk ke jaringan komputer dan mengancam akan menyebabkan gangguan atau menghapus file, kecuali tebusan dalam mata uang kripto dibayarkan.
Pembayaran uang tebusan itu dilaporkan dilakukan menggunakan Bitcoin setelah pabrik kembali online.
"Ini adalah keputusan yang sangat sulit yang dibuat bagi perusahaan kami dan bagi saya secara pribadi," kata CEO JBS Andre Nogueira.
Baca juga: Strategi Jitu New York Menarik Wisatawan Jepang Vaksinasi di Amerika Serikat
Baca juga: Massa Pro-Palestina di Washington Minta AS Hentikan Bantuan ke Israel hingga Ancam Lawan Politisi
Perusahaan menambahkan bahwa mereka membayar uang itu karena serangan tersebut 'sangat canggih'.
Meski menerima serangan cyber, sebagian besar pabriknya tetap beroperasi.
Namun, perusahaan terpaksa menghentikan penyembelihan sapi di semua pabriknya di AS selama sehari.
Gangguan itu mengancam pasokan pangan dan mempertaruhkan harga pangan yang lebih tinggi bagi konsumen.
Gedung Putih mengatakan bahwa organisasi kriminal "kemungkinan berbasis di Rusia" berada di balik serangan itu.