Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi mengatakan dirinya tidak akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden atau bernegosiasi atas program rudal balistik Teheran dan dukungannya terhadap milisi regional.
"AS berkewajiban untuk mencabut semua sanksi yang menindas terhadap Iran," kata Raisi dalam konferensi pers, seperti dilansir dari Kantor Berita AP, Senin (21/6/2021).
Raisi duduk di depan lautan mikrofon, sebagian besar dari Iran dan negara-negara rumah bagi milisi yang didukung oleh Teheran.
Dia tampak gugup di awal komentar tetapi perlahan-lahan mulai rileks selama konferensi pers selama satu jam.
Ditanya tentang program rudal balistik Iran dan dukungannya terhadap milisi regional, Raisi menggambarkan isu-isu itu sebagai "tidak dapat dinegosiasikan."
Saat ditanya akan bertemu Biden? Raisi hanya menjawab: "Tidak."
Baca juga: Presiden China Xi Jinping Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Ebrahim Raisi Sebagai Presiden Iran
Pesaing moderatnya dalam pemilihan, Abdolnasser Hemmati, telah menyarankan selama berkampanye bahwa dia akan berpotensi bersedia untuk bertemu Biden.
Gedung Putih tidak segera menanggapi pernyataan Raisi hari Senin.
Raisi, anak didik Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, telah diberi sanksi oleh AS sebagian atas keterlibatannya dalam eksekusi massal.
Kemenangannya dalam pemungutan suara Jumat lalu datang di tengah jumlah pemilih terendah dalam sejarah Republik Islam Iran.
Raisi juga menggambarkan dirinya sebagai "pembela hak asasi manusia" ketika ditanya tentang keterlibatannya dalam eksekusi massal 1988 sekitar 5.000 orang.
Dari mereka yang melakukan pemungutan suara, 3,7 juta orang secara tidak sengaja atau sengaja membatalkan surat suara mereka, jauh melampaui jumlah yang terlihat dalam pemilihan sebelumnya.
Dalam hasil resmi, Raisi memenangkan 17,9 juta suara secara keseluruhan, hampir 62% dari total 28,9 juta pemilih.
Kemenangan pemilu Raisi telah menimbulkan kekhawatiran bahwa itu dapat mempersulit kemungkinan kembali ke kesepakatan nuklir.(AP/CNBCTV)