Atas tindakannya, Aung San Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991.
Dia menghabiskan bertahun-tahun keluar masuk tahanan rumah dan selamat dari upaya pembunuhan pada 2003.
Pendidikan Aung San Suu Kyi dan pengakuan internasional juga menjadi sumber kekaguman bagi banyak pengikutnya.
Namun hal ini justru menjadi bahan penghinaan oleh militer ultra-nasionalis, juga dikenal sebagai Tatmadaw, yang sering membuat sebutan seksis 'istri orang asing'.
Pada tahun 2008, sebelum mengizinkan pemilihan, rezim militer merancang sebuah konstitusi baru yang memungkinkannya untuk mempertahankan kendali atas beberapa lembaga kunci dan menjaminnya 25 persen kursi di parlemen.
Itu juga menambahkan klausul yang melarang siapa pun yang memiliki suami atau anak asing untuk menjabat sebagai presiden, yang oleh banyak orang dianggap secara langsung ditujukan kepada Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Bakar Desa, Pemimpin ASEAN Harus Lebih Tegas
Dengan bantuan seorang pengacara konstitusi bernama Ko Ni, dia menemukan jalan keluar dari larangan ini.
Ko Ni kemudian menjadi penasihat negara setelah kemenangan pertama NLD dalam pemilu pada tahun 2015.
Tetapi, dua tahun kemudian Ko Ni ditembak mati.
Pada tahun 2017, ratusan ribu orang Rohingya yang sebagian besar Muslim melarikan diri ke Bangladesh ketika militer melancarkan tindakan keras brutal di negara bagian Rakhine di bagian barat.
Aung San Suu Kyi tidak mengutuk tindakan militer, dan setelah kasus genosida itu dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag, dia melakukan perjalanan ke Belanda untuk membela apa yang telah dilakukan para jenderal.
Berita lain seputar Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina/Hasanah Samhudi)