TRIBUNNEWS.COM – Militer China mengatakan telah mengusir sebuah kapal perang Amerika Serikat yang dikatakannya secara ilegal memasuki perairan China di dekat Kepulauan Paracel pada hari Senin (12/7).
Komando Wilayah Selatan Tentara Pembebasan Rakyat (China) mengatakan, kapal perang AS, USS Benfold, memasuki perairan Paracels tanpa persetujuan dari pemerintah China.
Hal ini dikatakan secara serius melanggar kedaulatan China dan merusak stabilitas Laut China Selatan.
"Kami mendesak Amerika Serikat untuk segera menghentikan tindakan provokatif seperti itu," bunyi pernyataan Komando Wilayah Selatan.
Namun Armada Ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan terkait hal ini.
Baca juga: China Usir Kapal Perang AS di Laut China Selatan, Blinken Peringatkan Beijing Tak Ganggu Filipina
“Benfold telah menegaskan hak navigasi dan kebebasan di sekitar Kepulauan Paracel, konsisten dengan hukum internasional,” ungkap Armada Ke-7 AL AS.
“Dan kami menolak klaim China tentang pelanggaran serius kedaulatannya sebagai sesuatu yang salah,” tambahnya.
Pernyataan Armada Ke-7 AL AS menekankan bahwa setiap kapal memiliki hak "lintas damai” di bawah hukum internasional sebagaimana tercermin dalam Konvensi Hukum Laut dan izin tidak diperlukan.
"Operasi tersebut mencerminkan komitmen kami untuk menegakkan kebebasan navigasi dan penggunaan laut yang sah sebagai prinsip," kata pernyataan itu.
“Amerika Serikat akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan, seperti yang dilakukan USS Benfold di sini. RRC (Republik Rakyat China) tidak akan dapat menghalangi kami,” sebutnya.
Baca juga: AS dan China Berebut Wilayah Kepulauan Paracel di Tengah Pandemi Covid-19, Kapal AS Telah Tiba
Kepulauan Paracel, yang disebut China sebagai Xisha, adalah di antara ratusan pulau, terumbu karang dan atol di Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya yang diperebutkan oleh Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei.
China mengklaim hak bersejarah atas segala sesuatu di dalam wilayah yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus, yang mencakup sebagian besar wilayah.
China menguasai Paracels, rantai pulau tandus sekitar 250 mil (400 kilometer timur Vietnam) dan 220 mil (350 kilometer) tenggara Pulau Hainan, pada 1970-an.
Kepulauan ini juga diklaim oleh Vietnam, yang menyebut mereka Hoang Sa, serta Taiwan.
Ketiga negara tersebut memerlukan izin atau pemberitahuan terlebih dahulu sebelum kapal militer berlayar melalui wilayah tersebut, kata Angkatan Laut AS.
Baca juga: AS Tambahkan Lebih dari 10 Perusahaan China ke Daftar Hitam
Kasus di Paracels Senin (12/7) kemarin bertepatan dengan enam tahun keputusan Pengadilan Internasional bahwa China tidak memiliki klaim atas Laut China Selatan.
Pada 12 Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, menolak sembilan garis putus-putus China dan memutuskan bahwa Beijing tidak memiliki klaim bersejarah atas Laut China Selatan.
Pengadilan juga mengatakan China telah mengganggu hak penangkapan ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal dan melanggar hak kedaulatan Filipina dengan mengeksplorasi minyak dan gas di dekat Reed Bank.
China telah berulang kali mengatakan tidak menerima keputusan tersebut dan terus memperluas kehadirannya di Laut China Selatan selama lima tahun terakhir.
Dalam sebuah pernyataan tertulis pada hari Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kebebasan laut adalah kepentingan abadi semua negara.
Baca juga: China Rilis Kapal Perusak Terbaru Bertepatan dengan Perayaan 100 Tahun Partai Komunis
“Tidak ada tatanan maritim berbasis aturan di bawah ancaman yang lebih besar daripada di Laut China Selatan,” kata Blinken.
“Republik Rakyat China terus memaksa dan mengintimidasi negara-negara pesisir Asia Tenggara, mengancam kebebasan navigasi di jalur global yang kritis ini,” katanya.
ia juga mengulangi peringatan kepada China bahwa serangan terhadap angkatan bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan memicu perjanjian pertahanan bersama AS-Filipina tahun 1951.
“Kami menyerukan RRC untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional, menghentikan perilaku provokatifnya, dan mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa ia berkomitmen pada tatanan maritim berbasis aturan yang menghormati hak semua negara, besar dan kecil," tambahnya. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)