TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Donald J Trump, di hari-hari akhir kekuasaanya di Gedung Putih, nyaris menyeret militer AS ke dalam peperangan besar melawan Iran.
Trump menolak hasil Pilpres AS yang memenangkan rivalnya, Joe Biden. Bersama para loyalisnya, Trump berusaha meninggalkan masalah besar ke penggantinya.
Drama menegangkan akhir pemerintahan Trump ini dibeberkan media The New Yorker, Jumat (15/7/2021) waktu Washington.
Menurut hasil penelusuran media itu yang mewawancarai ratusan narasumber, pejabat senior militer AS secara aktif berusaha mencegah Donald Trump menyerang Iran.
Laporan The New Yorker, media berpengaruh dan disukai banyak pembaca di AS ini, dikutip berbagai media, termasuk situs berita Israel, Haaretz.com.
Jurnal ternama The Atlantic mempublikasikan versi lain yang ditulis kolumnis Tom Nichols. Ketiga media ini sama-sama menyebut peran penting Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley.
Baca juga: Sebuah Buku Ungkap Jenderal Top AS Ketakutan Trump Berencana Lakukan Kudeta
Baca juga: Iran Incar Donald Trump dan 47 Pejabat AS yang Berperan Bunuh Jenderal Qassem Soleimani
Baca juga: Israel Sebut Ebrahim Raisi Ekstremis, Yakin Presiden Baru Iran Itu akan Tingkatkan Program Nuklir
Mark Miley disebut terlibat upaya memastikan Trump tidak memulai konflik militer dengan Iran sebagai bagian dari kampanye pemuasannya untuk membatalkan hasil Pilpres AS 2020.
Laporan The New Yorker itu ditulis wartawannya, Susan B Glasser. Di masa akhir kekuasaan Trump, Mark Milley terakhir berbicara dengan Trump pada 3 Januari 2021.
Topik pertemuan Minggu sore, di Gedung Putih itu menyangkut program nuklir Iran. Milley sempat khawatir Trump akan bersikeras meluncurkan serangan ke Iran yang dapat memicu perang besar.
Kepada rekan dekatnya, Milley menyebut ada dua skenario buruk setelah Pilpres 3 November 2020. Hitung cepat hari itu menunjukkan Trump kalah.
Trump dan loyalisnya diperkirakan akan mencoba menggunakan militer di jalan-jalan Amerika untuk mencegah pemindahan kekuasaan yang sah dan damai.
Skenario kedua, krisis eksternal melibatkan Iran. Kedua skenario itu tidak pernah dipublikasikan pada saat itu.
Tetapi Milley percaya negaranya sangat dekat berkonflik melawan Republik Islam Iran. Milley melukiskan pasca-Pilpres itu periode berbahaya ini.
Trump merasa hasil pemilihan telah dicuri darinya. Milley mengilustrasikan situasinya sama dengan momen Reichstag.
Adolf Hitler pada 1933 tampil di tengah krisis dan menyatakan ingin menyelamatkan bangsa Jerman lewat tangannya.
Untuk mencegah hasil seperti itu, Milley, sejak akhir 2020, rutin berkomunikasi dengan Kepala Staf Gedung Putih, Mark Meadows, dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo.
Harapannya, negara dipastikan aman hingga pelantikan Joe Biden. Mark Milley adalah seorang perwira Angkatan Darat bintang empat, ditunjuk untuk jabatan itu oleh Trump pada 2019.
AS Ibarat Pesawat Sedang Darurat
Jenderal bertubuh gempal itu menyebut komunikasinya dengan pejabat Gedung Putih bak dalam pesawat yang sedang dalam situasi darurat.
Ia menggambarkan, kedua mesin mati, serta roda pendarat terjebak.
“Tugas kami adalah mendaratkan pesawat ini secara aman dan melakukan transfer kekuasaan secara damai pada 20 Januari,” kata Milley dikutip The New Yorker menggunakan sumber dekatnya.
Konfrontasi luar biasa antara pejabat tinggi militer negara dan Panglima Tertinggi telah berlangsung sepanjang 2020.
Sebelum pemilihan, Milley telah menyusun rencana bagaimana menangani periode berbahaya menjelang pelantikan.
Dia menguraikan empat skema utama. Pertama, memastikan AS tidak perlu berperang di luar negeri; kedua, memastikan pasukan AS tidak digunakan di jalan-jalan Amerika untuk melawan rakyat Amerika, dengan tujuan agar Trump tetap berkuasa.
Ketiga, menjaga integritas militer; dan, terakhir, menjaga integritasnya sendiri. Dia sering merujuk kembali kepada mereka dalam percakapan dengan orang lain.
Ketika krisis dengan Trump berlangsung, dan ketakutan terburuk Presiden tidak menerima kekalahan tampaknya menjadi kenyataan, Milley berulang kali bertemu secara pribadi dengan para pimpinan Gedung Putih.
Dia mengatakan kepada mereka untuk memastikan tidak ada perintah yang melanggar hukum dari Trump dan tidak melaksanakan perintah seperti itu tanpa memanggilnya terlebih dahulu.
Suasana akhir pemerintahan Trump ini hampir mirip hari-hari terakhir Presiden Richard Nixon. Menteri Pertahanan Nixon, James Schlesinger, dilaporkan memperingatkan militer. untuk tidak bertindak atas perintah apa pun dari Gedung Putih.
Terutama perintah serangan nuklir tanpa terlebih dahulu memeriksanya atau dengan penasihat keamanan nasional, Henry Kissinger.
Pada satu pertemuan dengan para pimpinan Pasukan Gabungan, di Pentagon, Milley, mengutip kalimat terkenal Benjamin Franklin.
Pesan itu disampaikan pula kepada Ketua DPR Nancy Pelosi dan pemimpin mayoritas Senat Mitch McConnell, dan juga utusan pemerintahan transisi Biden.
Milley mengatakan, Trump mungkin mencoba melakukan kudeta, tetapi dia akan gagal karena dia tidak akan pernah berhasil.
“Loyalitas kami adalah pada Konstitusi AS,” kata Milley mengutip kalimat Benyamin Franklin di hadapan para tokoh AS. “Kami tidak akan terlibat dalam politik,” imbuh Milley.
Kolumnis terkemuka The Atlantic, Tom Nichols, menyebut dalam artikelnya, Donald Trump berniat menciptakan kekacauan sebanyak mungkin dalam perjalanannya keluar dari Gedung Putih.
“Kita sudah tahu Trump sedang berpikir untuk menyerang Iran. Pada pertengahan November, setelah dia kalah dalam pemilihan presiden, Trump meminta opsi militer terhadap fasilitas nuklir Iran, sebuah ide sembrono yang digagalkan para pembantunya,” tulis Tom Nichols.
“Amerika Serikat telah mengirim pembom B-52 dalam misi di Teluk Persia tiga kali, termasuk perjalanan pulang pergi 30 jam dari Dakota Utara ke Teluk pada 29 Desember,” imbuhnya.
Penerbangan B-52 adalah metode tradisional Amerika untuk menunjukkan tekad, cara untuk memberi sinyal kepada musuhnya.(Tribunnews.com/Haaretz/TheNewYorker/TheAtlantic/xna)