TRIBUNNEWS.COM – Ketua komite pelantikan mantan Presiden Donald Trump 2017, Thomas Barrack, mengaku tidak bersalah atas tuduhan bahwa dia terlibat secara diam-diam melobi Amerika Serikat atas nama Uni Emirat Arab.
Thomas Barrack (74) terlihat mengenakan masker hitam untuk melindungi dari virus corona saat muncul di Pengadilan Distrik AS Distrik Timur New York di New York City untuk pertama kalinya, Senin (26/7).
Persidangan berlangsung beberapa hari setelah dia dibebaskan dengan uang jaminan 250 juta (Rp 3, 500 triliun) setelah ditangkap di California. Pengacaranya memasukkan pembelaannya untuknya.
“Seperti yang Anda perkirakan, sistemnya bekerja. Saya pikir apa yang akan Anda temukan adalah … seiring waktu, Anda semua akan melihat bahwa saya 100 persen tidak bersalah,” kata Barrack saat meninggalkan pengadilan.
Dilansir dari Aljazeera, jaksa penuntut mengatakan Barrack menggunakan persahabatan berpuluh tahun dengan Trump untuk memengaruhi kebijakan Partai Republik. Ini dimulai ketika Trump menjadi kandidat presiden pada 2016 dan berlanjut setelah dia dilantik sebagai presiden.
Baca juga: Trump Lengser, Biden akan Hentikan Penjualan Senjata AS ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab
Baca juga: Hubungan Membaik, Menteri Luar Negeri Israel Lakukan Kunjungan Bersejarah di UEA
Pada saat itu, UEA berada dalam konflik diplomatik yang menegangkan dengan Qatar.
Jaksa mengatakan bahwa, Barrack di antaranya memberikan informasi kepada pejabat pemerintah Emirat tentang bagaimana pejabat senior AS memandang perselisihan tersebut.
Sekelompok negara, termasuk Arab Saudi, Mesir, UEA dan Bahrain, melancarkan blokade terhadap Qatar pada pertengahan 2017.
Jaksa juga mengatakan Barrack membual kepada kontak di Emirates bahwa dia dapat membantu mereka mendapatkan pengaruh dengan pemerintahan baru (AS) saat itu, bahkan ketika dia sedang mengincar posisi sebagai duta besar untuk UEA atau sebagai utusan khusus untuk Timur Tengah.
Otoritas federal mengatakan Barrack melanggar hukum dengan gagal mengungkapkan hubungannya dengan UEA kepada pemerintah AS.
Baca juga: Kalah Pilpres, Donald Trump Nyaris Seret Militer AS Perangi Republik Islam Iran
Pada hari Jumat, seorang hakim Los Angeles menyetujui kesepakatan jaminan 250 juta (Rp 3,5 troliun) yang dinegosiasikan antara pengacara Barrack dan jaksa federal.
Pengaturan tersebut mengharuskan Barak menyerahkan paspor dan tunduk pada pemantauan elektronik, termasuk pemberlakuan jam malam.
Pihak berwenang meminta jaminan tinggi karena Barrack sangat kaya dan berkuasa dengan hubungan substansial dengan Lebanon, UEA, dan Arab Saudi.
“Ia menimbulkan risiko pelarian yang serius ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Amerika Serikat,” kata hakim, seperti dilansir dari UPI.