News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Krisis Myanmar

Pemimpin Junta Jadi Perdana Menteri, Militer Myanmar Bakal Berkuasa hingga 2023

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi unjuk rasa antikudeta di Myanmar - Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer Myanmar menunjuk dirinya menjadi Perdana Menteri baru.

TRIBUNNEWS.COM, YANGOON - Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer Myanmar menunjuk dirinya sendiri menjadi Perdana Menteri baru.

Dilansir BBC, dia mengatakan darurat militer yang terjadi saat ini dapat diperpanjang hingga Agustus 2023. 

Dalam pidatonya, Min Aung Hlaing berjanji akan menyelenggarakan pemilihan multi-partai yang bebas dan adil.

Kendati demikian, dia menyebut partai terpilih yakni NLD, yang telah ia singkirkan sebagai "teroris".

Dalam pengumuman terpisah, pemerintah militer menyebut dirinya "pemerintah sementara" dan Min Aung Hlaing sebagai perdana menteri.

Baca juga: 6 Bulan Kudeta Myanmar, Junta Janjikan Pemilu, Sebut akan Akhiri Darurat Militer pada Agustus 2023

Baca juga: Setengah Penduduk Myanmar Terancam Terinfeksi Covid-19 dalam Dua Minggu ke Depan

Dalam file foto yang diambil pada 19 Juli 2018 ini, Kepala Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing, panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar, datang untuk memberikan penghormatan kepada pahlawan kemerdekaan Myanmar Jenderal Aung San dan delapan orang lainnya yang dibunuh pada tahun 1947, selama sebuah upacara untuk memperingati 71 tahun Hari Martir di Yangon. Militer Myanmar merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah pada 1 Februari 2021, menahan pemimpin yang terpilih secara demokratis Aung San Suu Kyi saat memberlakukan keadaan darurat satu tahun. (Ye Aung THU / AFP)

Pengumuman ini akan menempatkan Myanmar dalam cengkeraman militer selama hampir dua setengah tahun.

Padahal di awal kudeta, junta militer mendeklarasikan kondisi darurat selama satu tahun, dikutip dari The Guardian

Sejak kudeta pada Februari lalu, ratusan warga Myanmar tewas dalam aksi penolakan kepemimpinan militer.

Kondisi negara ini diperparah dengan lonjakan kasus infeksi Covid-19.

Hal ini menyebabkan fasilitas kesehatan di Myanmar kewalahan.

Hingga Senin (2/8/2021), Myanmar melaporkan 302.665 kasus infeksi dan 9.731 kematian terkait virus corona.

Jenderal Min Aung Hlaing dalam pidatonya menyebut, orang-orang yang melakukan demonstrasi menentang kudeta sengaja menyebarkan Covid-19.

Menurutnya, ada banyak berita palsu dan informasi hoaks di media sosial terkait kebijakan Covid-19.

Pemimpin kudeta ini mengatakan, vaksinasi akan dilakukan untuk menanggulangi pandemi corona.

Selain itu dia juga menyebut libur nasional akan diperpanjang.

Kendati demikian, menurut laporan BBC, lusinan tenaga kesehatan ditangkap dan banyak yang bersembunyi sejak kudeta.

Sejumlah orang mengaku, militer mangusir mereka saat ingin berobat ke rumah sakit.

Akses oksigen juga dibatasi hingga banyak orang yang meninggal dunia terkait Covid-19 di rumah.

Setelah militer merebut kekuasaan pada Februari, darurat nasional selama satu tahun diberlakukan.

Namun aksi penolakan oleh warga sipil secara nasional terus berlanjut, hingga puluhan ribu pekerja dipecat atau mogok.

"Saya berjanji untuk mengadakan pemilihan multi-partai tanpa gagal," ujar Jenderal Min Aung Hlaing.

DOKUMENTASI: Foto yang diambil pada 10 Juli 2021 menunjukkan sukarelawan mengenakan APD membawa jenazah korban Covid-19 ke pemakaman di Hlegu, Yangon. (AFP)

Baca juga: Setengah Penduduk Myanmar Terancam Terinfeksi Covid-19 dalam Dua Minggu ke Depan

Baca juga: Inggris: Setengah Penduduk Myanmar Dapat Terinfeksi Covid-19 Dalam Dua Minggu Ke Depan

Belum jelas partai-partai yang dimaksud, namun Jenderal Min Aung Hlaing menyebut partai Aung San Suu Kyi yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) adalah "ekstremis".

Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan menghadapi berbagai tuduhan kriminal.

Aktivis hak asasi manusia di Burma, Aung Kyaw Moe menilai bahwa janji jenderal militer itu adalah kebohongan.

"(Janji pemilu) adalah kebohongan dan itu tidak akan terjadi, rakyat Myanmar tidak akan mempercayai janji semacam itu," ujarnya.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Berita lainnya seputar Krisis Myanmar

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini