TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden AS Joe Biden pada Kamis (5/8/2021) menawarkan tempat berlindung (safe haven) sementara kepada warga Hong Kong di Amerika Serikat.
Tawaran ini memungkinkan ribuan orang memperpanjang masa tinggal mereka di negara itu menyusul tindakan keras Beijing terhadap demokrasi di wilayah China.
Biden mengarahkan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menerapkan "penangguhan pemindahan" hingga 18 bulan bagi penduduk Hong Kong yang saat ini berada di Amerika Serikat, dengan alasan kebijakan luar negeri yang memaksa.
“Selama setahun terakhir, RRC telah melanjutkan serangannya terhadap otonomi Hong Kong, merusak proses dan institusi demokrasi yang tersisa, memberlakukan batasan pada kebebasan akademik, dan menindak kebebasan pers,” kata Biden dalam memo itu.
Dia mengatakan, menawarkan tempat berlindung yang aman bagi penduduk Hong Kong adalah melanjutkan kepentingan Amerika Serikat di kawasan itu.
Baca juga: Presiden Xi Jinping: China Akan Sediakan 2 Miliar Dosis Vaksin Covid-19 Untuk Dunia
Baca juga: Hong Kong Larang Penerbangan dari Inggris untuk Cegah Penyebaran Covid-19 Varian Delta
“Amerika Serikat tidak akan goyah dalam mendukung orang-orang di Hong Kong,” katanya.
Dilansir dari Channel News Asia, seorang pejabat senior pemerintahan mengatakan, belum diketahui dengan pasti berapa banyak orang yang terdampak dari kebijakan AS ini.
Tetapi sebagian besar penduduk Hong Kong yang saat ini berada di Amerika Serikat diharapkan memenuhi syarat, katanya.
Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengatakan bahwa langkah itu menjelaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan tinggal diam ketika RRC melanggar janjinya kepada Hong Kong dan kepada masyarakat internasional.
“Mereka yang memenuhi syarat juga dapat mencari izin kerja,” kata Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Alejandro Mayorkas.
Baca juga: Menolak Jadi Pion Perang Geopolitik AS-China, Negara Kecil Ini Cabut Proyek yang Didanai Beijing
Baca juga: Hukum Polisi Maritim China Tidak Diakui Internasional, Jepang pun Resah
Beberapa jam setelah Biden menandatanangani memorandum itu, Kementerian Luar Negeri China langsung menanggapi.
Juru Bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu mengatakan karakterisasi AS terhadap situasi di Hong Kong itu membingungkan dan undang-undang keamanan nasional telah menciptakan lingkungan yang lebih aman dan kebebasan yang dilindungi.
"Langkah seperti itu mengabaikan dan mendistorsi fakta, dan sangat mencampuri urusan dalam negeri China," katanya, merujuk pada pengumuman AS.
Kantor Kementerian Luar Negeri China di Hong Kong mengatakan pada hari Jumat (6/8/2021) bahwa tawaran tempat berlindung (safe haven) itu merupakan upaya "untuk menjelek-jelekkan Hong Kong, mencoreng China, dan terlibat dalam tindakan untuk menghancurkan kemakmuran dan stabilitas kota".
“Langkah itu secara terang-terangan campur tangan dalam urusan Hong Kong dan urusan dalam negeri China, dan secara terang-terangan menginjak-injak hukum internasional dan norma-norma dasar hubungan internasional,” sebut pernyataan kemenlu China itu.
Baca juga: Survei: Orang Norwegia Lebih Takut pada Putin daripada Xi Jinping, Kim Jong Un, dan Biden
Baca juga: Presiden Xi Jinping Ingatkan Negara Lain Jangan Menekan China pada HUT Ke-100 Partai Komunis
Safe Haven adalah kebijakan terbaru dari serangkaian tindakan yang diambil Biden untuk mengatasi penggerusan aturan hukum di bekas jajahan Inggris, yang kembali ke kendali Beijing pada 1997.
Pemerintah AS pada Juli lalu meningkatkan sanksi terhadap pejabat China di Hong Kong.
AS memperingatkan perusahaan tentang risiko beroperasi di bawah undang-undang keamanan nasional.
Undang-undang ini diterapkan China tahun lalu untuk mengkriminalisasi apa yang dianggapnya subversi, pemisahan diri, terorisme, atau kolusi dengan pasukan asing.
Para kritikus mengatakan undang-undang itu memfasilitasi tindakan keras terhadap aktivis pro-demokrasi dan kebebasan pers di wilayah itu.
Baca juga: Presiden China Xi Jinping Akhirnya Beri Selamat pada Joe Biden sebagai Presiden Terpilih AS
China membalas tindakan AS bulan lalu dengan sanksinya sendiri terhadap orang Amerika, termasuk mantan menteri perdagangan AS Wilbur Ross. (Tribunnews.com/CNA/DW/Hasanah Samhudi)