TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia memastikan tidak akan menutup Kedutaan Besar Republik Indonesia(KBRI) di Kabul, Afghanistan meski saat ini Taliban sudah berkuasa.
"Misi KBRI Kabul akan tetap dijalankan dengan tim esensial terbatas, sambil terus dilakukan pemantauan situasi keamanan di Afghanistan," tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri RI di situs resminya, Selasa (17/8/2021).
Indonesia akan terus memantau secara dekat perkembangan yang sangat cepat yang terjadi di Afghanistan. Pemerintah RI berharap penyelesaian politik tetap dapat dilakukan, melalui Afghan-owned, Afghan-led.
"Perdamaian dan stabilitas tentunya sangat diharapkan oleh masyarakat Afghanistan dan dunia internasional.Indonesia terus melakukan komunikasi dengan semua pihak di Afghanistan dan juga dengan Perwakilan PBB dan Perwakilan Asing di Afghanistan," tulis pernyataan Kemenlu.
Saat ini keselamatan WNI, termasuk staf KBRI Kabul, merupakan prioritas pemerintah Indonesia.
Baca juga: Taliban Janji Hormati Hak-Hak Perempuan: Wajib Pakai Jilbab, Tidak Harus Burqa
Persiapan evakuasi terus dimatangkan, antara lain melalui komunikasi dengan berbagai pihak terkait di lapangan.
Wakil Presiden Indonesia (RI) ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) percaya saat ini Taliban lebih moderat ketimbang 20 tahun yang lalu, yang begitu sangat konservatif dan memaksa pemerintah dengan keras.
Baca juga: Joe Biden Pesimistis Pasukan AS Bisa Menang Lawan Taliban, Percuma, 20 Tahun Tak Cukup
“Saya yakin Taliban itu banyak berubah tidak seperti waktu di pemerintahan dia yang pertama, antara tahun 1996 hingga 2001. Saya kira dia lebih terbuka,” kata JK.
Baca juga: Jubir Taliban Zabihullah Mujahid Akhirnya Muncul, Bertahun-tahun Jadi Sosok Misterius
JK menceritakan bahwa ia pernah 2 kali mengundang perwakilan Taliban ke Jakarta untuk melihat bahwa Islam bisa berkembang di negara Indonesia secara moderat.
Saat itu, perwakilan Taliban sangat kagum melihat muslim di Indonesia bisa menjalankan ibadah dengan cara yang baik, tidak perlu menggunakan cara yang konservatif.
“Dia mengunjungi pesantren-pesantren. Satu tujuannya ialah untuk merubah cara berpikir mereka agar terbuka,” ujarnya.
Jusuf Kalla diketahui aktif dalam upaya damai di Afghanistan. Saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2014-2019, ia pernah beberapa kali terlibat langsung dalam perundingan damai Afghanistan.
JK menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah mengambil keuntungan dari kesulitan negara lain.
Namun ia meyakini, Indonesia akan tetap selalu menjaga hubungan antar negara, termasuk dengan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Ia meyakini pemerintah maupun para pengusaha Indonesia akan siap nantinya menjalin ekonomi dengan Afghanistan yang dia sebut memiliki penduduk sebesar 38 juta orang.
Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia dan merupakan pasar yang cukup menjanjikan menurutnya.
“Saya pikir ini memakan waktu, tunggu stabil dulu pemerintahan mereka,” katanya.
Selama ini Afghanistan kerap dibantu Amerika, sampai gaji pegawai pun didukung Amerika. Padahal Afghanistan memiliki sumber daya yang kaya.
“Saya yakin sikap Taliban tidak seperti tahun 2000 atau 20 tahun yang lalu, yang begitu sangat konservatif dan memaksa pemerintah dengan keras. Pengalaman-pengalaman itu saya kira kemudian merubah sikap Taliban,” ujarnya.
Peluang Kerja Sama
Peneliti dan Pengamat Luar Negeri dari FAH UIN Jakarta, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan Indonesia (RI) memiliki peluang kerja sama dengan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Hal ini sepanjang Taliban sejalan dengan cita-cita RI dalam mewujudkan kemerdekaan dan mendukung penghapusan penjajahan sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945.
Menurutnya soal pengambilan kekuasaan oleh Taliban, itu urusan internal di negara tersebut. RI sendiri selama ini menganut prinsip non-interferensi.
“Soal pengambilan kekuasaan oleh Taliban, itu urusan internal mereka. Politik luar negeri kita harus berbasis kpd ‘non-interference principles’ nggak boleh ikut campur. Biar mereka selesaikan persoalan internal politik mereka,” kata Sudarnoto.
Sudarnoto mengatakan Indonesia berpeluang untuk mainstreaming wasotiyatul Islam sekaligus menjalin kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai bidang dengan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Menurut ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri itu, politik luar negeri RI disamping menganut non-interference principles juga membangun kemaslahatan bersama.
RI harus hormati politik yang terjadi di Afghanistan, sepanjang tidak mengganggu stabilitas kawasan, termasuk di Asia Tenggara.
“Kita, Indonesia, hemat saya negeri muslim yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah Taliban,” ujarnya.
Menurutnya pemerintah Taliban sekarang jauh lebih moderat, terbuka dan menjunjung tinggi HAM dan demokrasi plus Islam.
“Bukan Taliban lama, ini new Taliban,” ujarnya.
Indonesia punya peran untuk ikut mendorong Taliban menguatkan wasotiyatul Islam.
Menurut Sudarnoto, prinsip wasotiyah ini penting dibangun dan diperkuat tidak saja untuk kepentingan Afghanistan agar tidak lagi terbentur bentur dalam konflik sekaligus melakukan konsolidasi politik yang firm.
“Prinsip wasotiyah, berarti pemerintah Taliban harus menyiapkan diri untuk semakin terbuka dengan dunia yang lebar,” ujarnya.
Taliban menurutnya sekarang akan semakin menyadari bahwa "menjadi terbuka" sebagai anggota komunitas global adalah penting.
Faktor ekonomi misalnya akan mendorong atau memaksa pemerintah Taliban untuk mengubur ekstrimisme dan menghargai aturan pergaulan internasional.
“Ini bisa menjadi momentum penting bagi "a new era of the new Taliban." jika tidak, maka Afghanistan akan terkucil atau dikucilkan oleh masyarakat internasional dan besar kemungkinan miskin,” ujarnya.
Menurutnya Amerika Serikat (AS) memang berjasa membuka jalan bagi Taliban untuk menyempurnakan misi politiknya.
Sebagai negara besar, AS pernah membantu membebaskan Afghanistan dari Rusia misalnya beberapa tahun silam.
AS memberikan Taliban hak atas Afghanistan, termasuk memimpin kembali Afghanistan.
“Taliban pasti berterima kasih ke AS yang telah memuluskan jalan,” ujarnya.
Menurutnya Amerika sendiri juga punya alasan kuat untuk hengkang dari Afghanistan tanpa pamit dengan pertimbangan geopolitik.
“Jadi (AS) nggak mau berhadapan langsung dengan "musuh"nya, yaitu China. China itu sangat berkepentingan dengan Afghanistan. Jika Amerika bertahan terus di Afghanistan, tidak akan menyehatkan bagi Amerika sendiri dan Afghanistan."
"Apalagi keduanya (Taliban dan Amerika) pernah terikat dengan satu perjanjian,” ungkapnya.(Tribun Network/ras/wly)