TRIBUNNEWS.COM, GUINEA - Presiden Guinea Alpha Conde dikudeta oleh militer pada Minggu (5/9/2021) waktu setempat.
Guinea merupakan negara berbentuk republik yang terletak di Afrika Barat.
Memiliki luas 246.000 kilometer persegi, negara ini berbatasan langsung dengan Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading.
Kudeta dilakukan oleh pasukan khusus Guinea.
Mereka menangkap presiden dan membubarkan konstitusi.
Militer juga memberlakukan jam malam.
"Kami telah memutuskan, setelah menangkap presiden, membubarkan konstitusi," kata seorang perwira berseragam diapit oleh tentara yang membawa senapan serbu dalam sebuah video yang dikirim ke AFP.
Baca juga: Mendekam di Penjara atas Tuduhan Kudeta, Mantan Presiden Bolivia Lakukan Percobaan Bunuh Diri
Berikut fakta-fakta kudeta dan penculikan presiden seperti dirangkum Tribunnews.com, Senin (6/9/2021):
Baku tembak
Kudeta militer dilakukan unit pasukan khusus.
Baku tembak terjadi di dekat istana presiden Guinea, Afrika Barat pada Minggu, 5 September 2021 pagi.
Baku tembak ini berlangsung selana berjam-jam.
Militer pasukan khusus Guinea telah melancarkan kudeta terhadap pemerintah.
Pasukan khusus Guinea ini juga menculik Presiden Alpha Conde.
Dari video yang tersebar di media sosial, Presiden Alpha Conde dikelilingi oleh sejumlah pasukan khusus tersebut.
Namun kondisi dari Presiden Alpha Conde aman.
Pasukan khusus ini membubarkan konstitusi.
Mereka juga menutup semua perbatasan dan jalur daerat serta udara.
"Kami telah memutuskan untuk membubarkan konstitusi karena kami akan menulis ulang konstitusi bersama kali ini untuk seluruh Guinea. Kami akan berkumpul bersama - empat wilayah, diaspora, orang Guinea di luar negeri. Bersama-sama, kami akan melaksanakan konsultasi inklusif untuk memutuskan masa depan negara ini,” ujar Kolonel Mamadi Doumbouya, Komandan Satuan Pasukan Khusus Angkatan Darat Guinea dilansir dari APTN (6/9/2021).
Penyebab kudeta
Kudeta ini terjadi menyusul ketegangan politik yang berlangsung lama di Guinea dan didorong oleh upaya Conde untuk meraih masa jabatan presiden ketiga tahun lalu.
Conde memenangkan masa jabatan presiden ketiga dalam pemilu yang disengketakan dan diwarnai tuduhan kecurangan pada Oktober tahun lalu.
Dilansir France24.com, pria 83 tahun itu maju setelah mengubah konstitusi pada Maret 2020 yang memungkinkan dia untuk menghindari batas dua masa jabatan presiden hingga memicu protes massa.
Sehari sebelum pemilihan presiden tahun lalu, militer memblokir akses ke Kaloum setelah dugaan pemberontakan militer di timur ibu kota.
Puluhan orang tewas dalam demonstrasi menentang masa jabatan ketiga presiden.
Aksi itu juga diikuti bentrokan dengan pasukan keamanan.
Ratusan orang ditangkap.
Conde diproklamasikan sebagai presiden pada 7 November tahun lalu.
Namun penantang utamanya Cellou Dalein Diallo dan tokoh oposisi lainnya menyebut pemilu itu sebagai tipuan.
Pemerintah melancarkan tindakan keras, menangkap beberapa anggota oposisi karena dugaan peran mereka dalam bersekongkol dalam aksi kekerasan pemilu di negara itu.
Conde, mantan pemimpin oposisi yang pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati, menjadi pemimpin pertama Guinea yang terpilih secara demokratis pada 2010.
Dia kemudian memenangkan pemilihan kembali pada 2015. Namun, Conde dianggap membelok ke otoritarianisme.
Kondisi presiden
Dalam video yang beredar di media sosial ini, Presiden Alpha Conde terlihat dalam kondisi baik setelah serangan militer ke Istana Presiden.
Namun ia tampak enggan diajak berbicara dengan anggota militer.
Alpha Conde mulai berkuasa pada Desember 2010.
Ia telah berkuasa lebih dari satu dekade.
Amerika mengutuk
Amerika Serikat (AS) mengutuk penggulingan presiden Guinea oleh pasukan khusus negara tersebut pada Minggu (5/9/2021).
Sikap tersebut disampaikan Kementerian Luar Negeri AS melalui sebuah pernyataan sebagaimana dilansir Reuters.
Kementerian tersebut menyatakan, kekerasan dan tindakan ekstra-konstitusional hanya akan mengikis prospek perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di Guinea.
“AS mengutuk kejadian hari ini di Conakry (ibu kota Guinea),” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri AS.
“Tindakan ini dapat membatasi kemampuan AS dan mitra internasional Guinea lainnya untuk mendukung negara itu saat menavigasi jalan menuju persatuan nasional dan masa depan yang lebih cerah bagi rakyat Guinea,” sambung Kementerian Luar Negeri AS.
Sumber: Kompas.TV/AFP/Kompas.com