News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Afghanistan Memanas

Aturan Taliban Soal Pembagian Gender Di Ruang Kelas Sekolah Di Afghanistan Tuai Pro dan Kontra

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Wanita Afghanistan berjalan melewati seorang pejuang Taliban di sepanjang jalan di Kabul pada Kamis (2/9 2021)

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, KABUL - Tampilan baru ruang kelas di sekolah Afghanistan menunjukkan 'suatu kemunduran' yang didasarkan pada pola pikir Taliban saat memerintah negara itu tahun 1996 hingga 2001 silam.

Hal ini tentu saja memicu kemarahan diantara berbagai tenaga profesional pendidikan di luar negara yang kini diperintah oleh kelompok militan itu.

Dikutip dari laman Sputnik News, Selasa (7/9/2021), dalam 'kenormalan baru' bagi siswa yang bergabung kembali dengan kelasnya setelah Taliban merebut kekuasaan di ibu kota Afghanistan, Kabul, pada 15 Agustus lalu, anak-anak menemukan kelas mereka telah dibagi dua dan disekat menggunakan tirai serta papan.

Baca juga: Afghanistan: Taliban bubarkan protes kaum perempuan di Kabul

Ini untuk memisahkan mereka berdasarkan jenis kelaminnya, yakni laki-laki dan perempuan.

Seperti yang ditunjukkan dalam beberapa foto yang dibagikan oleh pengguna Twitter.

Meskipun Taliban telah mengklaim bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan hukum Islam, namun pedoman baru yang dikeluarkan untuk perempuan telah memicu keraguan di kalangan pengamat.

Para pengamat ini meragukan apakah otoritas baru ini akan benar-benar menepati janji mereka.

Perlu diketahui, dua dekade lalu, Taliban telah melarang anak perempuan pergi ke sekolah, perguruan tinggi, universitas dan bekerja.

Baca juga: Wanita Afghanistan Dipaksa Menikah Dadakan di Luar Bandara Kabul Agar Bisa Melarikan Diri

Sementara itu, pemisahan antara siswa laki-laki dan perempuan di ruang kelas ini telah mendapatkan kecaman dari banyak orang.

Termasuk Ziauddin Yousafzai, yang merupakan ayah dari Malala Yousafzai, seorang aktivis hak-hak perempuan Pakistan sekaligus pemenang Nobel.

"Itu menggelikan dan ketinggalan zaman, tentu aturan ini tidak akan bertahan lama," kata Ziauddin yang berprofesi sebagai guru.

Ia kemudian menekankan bahwa para 'generasi muda ini belum melihat pembatasan ketat yang dilakukan Taliban pada 1990-an'.

Baca juga: Di Balik Penarikan Pasukan AS: Taliban Kawal Warga AS ke Gerbang Rahasia Bandara Kabul

Seorang Jurnalis dari Afghanistan, Bilal Sarwary mengatakan bahwa generasi muda Afghanistan saat ini tentu tidak akan tahan dengan kebijakan tegas Taliban.

"Generasi ini adalah produk dari era demokrasi Afghanistan modern dan mungkin tidak dapat bertahan dengan gaya pemerintahan Taliban yang keras ini," kata Sarwary.

Selain itu, pedoman baru yang dikeluarkan oleh Taliban untuk institusi pendidikan mengamanatkan bahwa anak perempuan akan diajar oleh guru dari jenis kelamin yang sama.

Sedangkan pintu masuk dan keluar akan digunakan secara terpisah untuk laki-laki dan perempuan.

Perempuan juga harus mengakhiri kegiatan belajarnya lima menit lebih awal dari laki-laki, dan mereka harus pergi ke ruang tunggu sebelum diantar pulang oleh kerabat laki-laki.

Pedoman baru yang dikenakan pada siswa oleh otoritas baru Afghanistan ini telah dikecam oleh para profesional pendidikan dan Sosiolog di India.

Seperti yang disampaikan pemilik beberapa sekolah di Chandigarh India, Sandeep Ahluwalia pada hari Selasa waktu setempat.

"Ini adalah langkah mundur dan kekejaman psikologis terhadap gadis-gadis muda yang memiliki ambisi serta kompetensi sebanding dengan anak laki-laki. Dengan memasang tirai, tentu akan menghalangi anak perempuan dan laki-laki untuk saling memandang, dan ini akan berdampak buruk pada pola pikir serta orientasi hidup mereka. Dengan demikian, anda menabur benih diskriminasi gender sejak kecil," tegas Ahluwalia.

Hal yang sama pun disampaikan seorang Sosiolog di Universitas Panjab, Ritesh Gill.

"Ini akan menghasilkan dampak merugikan yang serius pada kurva belajar siswa, terlepas dari jenis kelaminnya. Dan kemampuan belajar yang buruk, tentu akan berdampak sangat negatif pada jenis bangsa yang sedang dibangun untuk masa depan," tegas Gill.

Menurutnya, sebuah bangsa yang 'bermain dengan pendidikan generasi penerusnya', tengah memainkan permainan yang 'merusak diri sendiri'.

"Jika para penguasa mengkompromikan pendidikan untuk mengakomodasi keyakinan dan kepentingan mereka, itu adalah kerugian terbesar yang dilakukan kepada masyarakat," kata Gill.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini