TRIBUNNEWS.COM - Bentrokan antara milisi dan militer kembali terjadi di Myanmar pada Jumat (10/9/2021).
Menurut saksi mata dan media Myanmar, bentrokan tersebut merupakan tindak kekerasan terburuk sejak penentang pemerintah militer atau junta mendeklarasikan "perang defensif rakyat" pada Selasa (7/9/2021) lalu.
Dikutip dari Al Jazeera, bentrokan itu terjadi ketika para aktivis dan milisi mendesak masayarakat internasional untuk mengambil tindakan.
Penentang junta itu mengatakan, kurangnya campur tangan internasional terhadap krisis di Myanmar telah menyebabkan perlawanan senjata.
"Orang-orang muda Myanmar tidak punya pilihan selain untuk melawan dengan apa yang mereka miliki," kata Gerakan Pembangkangan Sipil dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (11/9/2021) pagi.
Baca juga: RI – Australia Komitmen Berikan Bantuan Kemanusiaan Untuk Rakyat Myanmar
Adapun sedikitnya 20 orang tewas dalam bentrokan yang terjadi sejak Kamis (9/9/2021) itu.
Beberapa di antara korban tewas adalah milisi lokal dan penduduk desa Myin Thar, di wilayah Magway, Myanmar tengah.
Menurut media dan seorang saksi, korban berjatuhan setelah militer menggunakan artileri berat.
Mereka menembakkan artileri, mereka membakar rumah-rumah di desa kami,” kata seorang warga.
Warga yang tidak disebutkan namanya itu menambahkan, tiga anak serta putranya yang berusia 17 tahun, seorang anggota milisi, termasuk di antara 20 orang yang tewas.
Baca juga: Oposisi Junta Myanmar Klaim Telah Dapat Dukungan dari Sejumlah Negara
"Saya kehilangan semua yang saya miliki, saya tidak akan memaafkan mereka sampai akhir dunia," katanya kepada kantor berita Reuters melalui telepon.
Lebih lanjut, BBC Burma melaporkan pada Jumat (10/9/2021) bahwa 10 orang tewas di Myin Thar di wilayah Magway, Myanmar tengah, sementara situs berita Irrawaddy melaporkan 17 korban tewas yang di antaranya anak di bawah umur.
Irrawaddy juga melaporkan pembunuhan tiga tentara terjadi di kota terbesar, Yangon, pada Kamis (9/9/2021).
Bentrokan meletus pada Kamis dan berlanjut pada Jumat malam di Thantlang di negara bagian Chin, yang berbatasan dengan India, lapor Irrawaddy.
Sementara itu, Radio Free Asia dan layanan berita Mizzima melaporkan militer melakukan serangan udara.
Menteri pertahanan pemerintah bayangan, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), tidak segera menanggapi permintaan konfirmasi insiden pada Kamis dan Jumat.
Sama halnya dengan juru bicara militer Zaw Min Tun yang tidak menjawab panggilan Reuters.
Oposisi Junta Myanmar Klaim Telah Dapat Dukungan dari Sejumlah Negara
NUG mengklaim telah mendapatkan dukungan dari sejumlah negara.
Menteri Luar Negeri untuk NUG, Zin Mar Aung mengatakan, daftar negara-negara Barat dan Asia yang mendukung pihaknya, terus bertambah dan beberapa di antaranya telah mengakui perwakilannya.
Baca juga: ASEAN Berhasil Dorong Gencatan Senjata di Myanmar Hingga Akhir Tahun
Saat ini, NUG sedang mencoba untuk menumbuhkan sekutu secara diam-diam di antara negara-negara demokrasi dunia.
Adapun, hal itu dilakukan karena NUG ingin menang dari rezim militer Myanmar, yang juga mencari pengakuan internasional setelah menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis di negara itu pada 1 Februari 2021.
Di mana, dalam Majelis Umum PBB ke-76 akan diputuskan apakah pihak NUG atau rezim militer yang menduduki kursi PBB di Myanmar.
Lebih lanjut, untuk mendapatkan lebih banyak dukungan, pemerintah bayangan itu mengadakan pembicaraan di belakang layar dengan pejabat pemerintah di tempat lain.
"Republik Ceko, Prancis dan Australia telah mengakui perwakilan kami yang ditunjuk di negara ini," kata Zin Mar Aung kepada Nikkei Asia dalam sebuah wawancara eksklusif dari lokasi yang dirahasiakan.
Baca juga: Tak Segera Akhiri Kekerasan, Inggris Jatuhkan Sanksi Baru kepada Junta Myanmar, Bekukan Aset Taipan
"Kami akan terus menunjuk perwakilan di Inggris dan Jepang untuk memperluas kerja sama lebih lanjut dan hubungan bilateral," tambahnya.
Diketahui, pemerintah Amerika Serikat dan Korea Selatan juga telah mengakui NUG sebagai perwakilan sah dari pemerintah terpilih yang bertekad untuk memulihkan demokrasi di Myanmar.
Beberapa briefing yang dilakukan dengan Washington diakhiri dengan pertemuan antara Zin Mar Aung dan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Wendy Sherman pada awal Agustus 2021.
Beberapa hari kemudian, kantor kepresidenan Korea Selatan mengumumkan akan terlibat dengan NUG, sehingga situasi Myanmar dapat diselesaikan ke arah yang memenuhi aspirasi rakyatnya.
"Banyak pejabat pemerintah Barat telah mengulurkan tangan untuk berbicara," kata Zin Mar Aung.
Baca juga: RI Beri Bantuan Kemanusiaan Sebesar USD 200.000 bagi Rakyat Myanmar
"Meskipun kami memiliki kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, beberapa negara lebih memilih diplomasi diam dan tertutup, dan sering kali pertemuan ini bersifat rahasia," tambah anggota parlemen berusia 46 tahun untuk Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
NUG menggunakan tindakan keras militer terhadap lawan untuk memperkuat kasusnya ke masyarakat internasional.
Untuk diketahui, setidaknya 1.058 telah tewas sejak pemberontakan terhadap militer dimulai.
Lebih dari 6.300 orang saat ini ditahan, lapor Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, kelompok yang memantau situasi hak asasi manusia di Myanmar.
Penangkapan dilaporkan terjadi lagi pada Sabtu pagi di seluruh negeri, termasuk di kota Yangon terbesar di negara itu dan di wilayah Sagaing.
Baca artikel lain seputar Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)