TRIBUNNEWS.COM - Salah satu pendiri Taliban menyebut aturan keras akan diberlakukan kembali, seperti eksekusi dan amputasi tangan, meski kemungkinan tidak lagi dilakukan di depan umum.
Dilansir The Guardian, dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, Mullah Nooruddin Turabi memberi pembelaan atas cara eksekusi Taliban di masa lalu, yang terkadang dilakukan di stadion di depan orang banyak.
Turabi juga memperingati dunia agar tidak mengganggu aturan baru Afghanistan.
"Semua orang mengkritik kami atas hukuman di stadion, tetapi kami tidak pernah mengusik apa pun tentang hukum mereka dan hukuman mereka," kata Turabi di Kabul.
"Tidak ada yang harus memberi tahu kami seperti apa hukum kami seharusnya," tambahnya.
Turabi, yang sekarang berusia awal 60-an, bertanggung jawab atas masalah penjara.
Baca juga: Taliban Berburu Harta Karun Kuno Emas Baktria Berusia 2.000 Tahun
Baca juga: Penyerangan terhadap Taliban di Afghanistan Timur Tewaskan 5 Orang, Berlanjut Pengeboman Kendaraan
Ia dulunya menjabat sebagai menteri kehakiman dan kepala kementerian "penyebaran kebajikan dan pencegahan kejahatan."
Pada masa pemerintahan Taliban sebelumnya, dunia mengecam hukuman Taliban, yang dilakukan di stadion olahraga Kabul atau di halaman masjid yang luas, yang seringkali dihadiri oleh ratusan pria Afghanistan.
Eksekusi terpidana pembunuhan biasanya dilakukan dengan satu tembakan ke kepala, oleh keluarga korban.
Untuk pelaku pencurian, hukumannya adalah potong tangan.
Bagi mereka yang melakukan perampokan di jalan raya, tangan dan kakinya diamputasi.
Pengadilan dan vonis jarang sekali dilakukan secara terbuka untuk umum.
Turabi mengatakan bahwa kali ini, hakim – termasuk wanita – akan mengadili kasus, tetapi dasar hukum Afghanistan adalah Al-Qur'an.
Dia mengatakan hukuman yang sama akan dihidupkan kembali.
"Pemotongan tangan sangat diperlukan untuk keamanan,” katanya, menyebut hukuman itu memiliki efek jera.
Baca juga: Cerita Sejumlah Penyanyi Afghanistan yang Kabur dari Taliban, Takut Dieksekusi Bila Tidak Pergi
Baca juga: Taliban Aniaya dan Tahan Dua Jurnalis Afghanistan Karena Liput Unjuk Rasa Perempuan
Turabi mengatakan kabinet sedang mempelajari apakah mereka akan melaksanakan hukuman di depan umum dan apakah mereka akan "mengembangkan kebijakan".
Selama pemerintahan Taliban sebelumnya, Turabi adalah salah satu penegak hukum yang paling ganas dan tidak kenal kompromi.
Ketika Taliban mengambil alih kekuasaan pada tahun 1996, salah satu tindakan pertamanya adalah meneriaki seorang jurnalis wanita, menuntutnya meninggalkan ruangan pria, dan kemudian memberikan tamparan keras di wajah seorang pria yang keberatan.
Turabi juga terkenal atas aksinya yang merobek kaset musik dari mobil, merentangkan ratusan meter kaset yang hancur di pohon dan rambu-rambu lalu lintas.
Dia juga menuntut laki-laki memakai sorban di semua kantor pemerintah.
Antek-anteknya seringkali memukuli laki-laki yang janggutnya dicukur.
Di pemerintahannya, olahraga dilarang.
Pasukan penegak Turabi memaksa pria ke masjid untuk sholat lima waktu.
Dalam wawancara minggu ini dengan AP, Turabi berbicara dengan seorang jurnalis wanita.
"Kami berubah dari masa lalu," katanya.
Dia mengatakan sekarang Taliban mengizinkan televisi, ponsel, foto dan video karena ini adalah kebutuhan rakyat, dan mereka serius tentang itu.
Ia menyiratkan bahwa Taliban melihat media sebagai cara untuk menyebarkan pesan mereka.
"Sekarang kita tahu daripada hanya mencapai ratusan, kita bisa mencapai jutaan (dengan media)," katanya.
Turabi menambahkan bahwa jika hukuman diumumkan kepada publik, maka orang mungkin diizinkan untuk merekam video atau mengambil foto untuk menyebarkan efek jera.
Bahkan ketika penduduk Kabul mengungkapkan ketakutannya atas penguasa baru Taliban mereka, beberapa orang mengakui bahwa ibu kota telah menjadi lebih aman hanya dalam sebulan terakhir.
"Bukan hal yang baik untuk melihat orang-orang ini dipermalukan di depan umum, tetapi itu menghentikan para penjahat karena ketika orang melihatnya, mereka berpikir 'Saya tidak seperti dia,'' kata Amaan, seorang pemilik toko di pusat kota Kabul.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Berita lainnya seputar Konflik di Afghanistan