TRIBUNNEWS.COM - Penelitian independen mengungkap sejumlah wanita dan anak perempuan di Kongo dilecehkan secara seksual oleh pekerja bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Insiden ini terjadi selama wabah Ebola pada 2018-2020 di Republik Demokratik Kongo.
Kasus pelecehan dan termasuk sembilan tuduhan pemerkosaan dilakukan para pekerja nasional maupun internasional di antara dua tahun itu.
Dilansir The Guardian, kejadian ini terungkap setelah lebih dari 50 wanita melaporkan tindakan pelecehan seksual yang mereka alami.
Temuan ini disebut "mengerikan" oleh Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Baca juga: Indonesia Capai Benchmark Vaksinasi Covid-19 yang Ditetapkan WHO
Baca juga: WHO Rekomendasikan Obat Antibodi Regeneron untuk Pasien Covid-19
Sementara direktur regional WHO untuk Afrika, Matshidiso Moeti mengaku patah hati dan miris.
Komisi independen merilis laporan setebal 35 halaman setelah penyelidikan.
Komisi ini mewawancarai banyak wanita yang diduga ditawari pekerjaan dengan syarat memenuhi hasrat seksual para pekerja bantuan.
Sekitar 80 kasus pelecehan dan rudapaksa itu, menurut pemeriksaan, terjadi pada perempuan berusia 13 hingga 43 tahun.
Dari penelusuran, ditemukan bahwa 21 dari 83 terduga pelaku bekerja untuk WHO.
Menurut laporan itu, pelecehan menyebabkan 29 kehamilan dan beberapa pelaku bersikeras agar korban melakukan aborsi.
Menurut laporan BBC, wanita-wanita ini dicekoki minuman atau disergap saat di rumah sakit untuk dipaksa berhubungan seksual.
WHO dilaporkan memutus kontrak empat orang terduga pelaku yang masih bekerja untuk pihaknya.
Sumber diplomatik Barat menerangkan ada dua staf lainnya yang diberikan cuti administratif.
Tindakan lebih untuk menangani dugaan pemerkosaan ini juga akan dilakukan.
"Saya minta maaf atas apa yang dilakukan kepada Anda oleh orang-orang yang dipekerjakan oleh WHO untuk melayani dan melindungi Anda," katanya.
"Ini adalah prioritas utama saya bahwa para pelaku tidak dimaafkan, tetapi dimintai pertanggungjawaban," kata Dr Tedros saat konferensi pers, Selasa (28/9/2021).
Dia mengaku akan bertanggung jawab, berjanji melindungi para korban, serta bersumpah akan merombak struktur dan budaya WHO.
Komisi independen dalam laporannya menyoroti "kegagalan struktural yang jelas dan ketidaksiapan untuk mengelola risiko insiden eksploitasi dan pelecehan seksual di Kongo".
Para penyelidik menemukan bahwa sebagian besar korban sangat rentan.
Korban kebanyakan adalah perempuan muda yang terjebak dalam situasi ekonomi sulit.
Salah satu terduga korban termuda, Jolianne menceritakan bahwa seorang staf WHO tiba-tiba berhenti dan menawarinya tumpangan pulang.
Baca juga: WHO Klaim Polusi Udara Bunuh 7 Juta Manusia Per Tahun
Baca juga: WHO dan UNICEF Minta Pemerintah RI Segera Gelar Pembelajaran Tatap Muka
Itu terjadi saat dirinya tengah menjual kartu telepon di pinggir jalan di kota Mangina pada April 2019.
"Sebaliknya, dia membawanya ke sebuah hotel di mana dia mengatakan dia diperkosa oleh orang ini," kata laporan itu.
Penyakit virus ebola (EVD) atau demam berdarah Ebola (EHF) adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh virus Ebola.
Lebih dari 2.000 orang tewas dalam wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo.
WHO, yang mempelopori upaya global untuk mengekang penyebaran penyakit ini menyatakannya wabah ini berakhir pada Juni tahun lalu.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)