Mohibullah merupakan seorang guru yang menjadi aktivis hak asasi.
Dia muncul sebagai pemimpin utama pengungsi Rohingya.
Selain itu, Mohibullah juga menjadi juru bicara yang mewakili para pengungsi dari negara tetangga Myanmar dalam pertemuan internasional.
Pria berusia 50 tahun itu datang ke Bangladesh pada 2017 ketika sekitar 700.000 pengungsi melarikan diri dari Myanmar.
Ia datang saat terjadi kekerasan yang diduga dilakukan oleh tentara Myanmar.
Pada 2019, ia mewakili para pengungsi dalam kunjungan ke Gedung Putih untuk pertemuan dengan Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Pertemuan itu membahas tentang kebebasan beragama, di mana ia mengangkat poin tentang penderitaan dan penganiayaan yang dihadapi oleh Muslim Rohingya di Myanmar.
Namun, dia dikritik keras oleh media Bangladesh pada tahun yang sama setelah dia memimpin rapat umum 200.000 pengungsi untuk memperingati ulang tahun kedua penumpasan oleh militer Myanmar.
Sekitar 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke kamp-kamp di Cox's Bazar setelah Agustus 2017.
Saat itu militer di Myanmar memulai tindakan keras terhadap kelompok Muslim, menyusul serangan oleh pemberontak.
Tindakan keras itu termasuk pemerkosaan, pembunuhan, serta pembakaran ribuan rumah, dan disebut pembersihan etnis oleh kelompok hak asasi global dan PBB.
Dalam sebuah pernyataan, Meenakshi Ganguly, direktur Asia Selatan di Human Rights Watch, mengatakan Mohibullah adalah suara penting bagi komunitas Rohingya.
“Dia selalu membela hak-hak Rohingya untuk kembali ke negaranya dengan aman dan bermartabat."
"Dia memiliki suara dalam keputusan mengenai kehidupan dan masa depan Rohingya."