TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini, kawasan Asia berada di lini terdepan krisis iklim dengan kerugian terbesar yang disebabkan perubahan iklim yang mencapai USD 4,7 triliun dalam PDB menurut analisis terbaru McKinsey.
Di Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.
Tidak hanya berdasarkan sains, sektor keuangan juga telah mendeteksi peningkatan risiko terhadap banjir besar, topan dan kemarau.
Di tingkat global, investasi Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) telah mengalami gelombang pertumbuhan di balik pandemi dan memiliki fokus baru pada keberlanjutan.
Selain itu, aset ESG akan mencakup lebih dari sepertiga aset yang dikelola pada tahun 2025.
Di Asia Tenggara, model bisnis yang mengutamakan keberlanjutan, penilaian risiko iklim, dan investasi ESG masih terbilang baru, namun dampak dari perubahan iklim sudah terasa.
Baca juga: Gegara Batas Tanah, Dua Pemuda di Maluku Tewas Disabet Parang
Lantas apakah bisnis di kawasan Asia siap menghadapi tantangan ini? Bagaimana langkah awal kita untuk mengurangi dampaknya? Apa sudah terlambat?
Prof John Sterman, Direktur MIT Sloan Sustainability Initiative mengatakan, setelah beberapa dekade mempelajari reaksi dan upaya masyarakat untuk memitigasi perubahan iklim, ia menegaskan saat ini masyarakat memang peduli dengan lingkungan.
“Masalah utamanya adalah orang-orang kewalahan dengan kerumitan dan penundaan yang lama, terutama ketika kita sudah terbiasa dengan hasil yang instan,” kata Sterman dalam keterangannnya, Kamis (14/10/2021).
Sterman berkeyakinan saat orang-orang dihadapkan dengan konsekuensi yang tampak seperti bencana yang besar banyak dan tidak ada jalan keluarnya, kebanyakan orang cenderung meyakinkan diri mereka sendiri.
"Bahwa masalahnya tidak seburuk itu, pasar akan menyelesaikannya atau pemerintah akan menanganinya," kata Sterman yang akan menjadi pembicara utama pada konferensi Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA) 2021 mendatang.
Untuk menantang gagasan ini dan mengajak orang untuk mengambil tindakan individu dan kolektif, Sterman mengembangkan simulasi En-ROADS and C-ROADS, yang menggunakan analogi bak mandi atau bathtub dan membuat simulasinya tersedia untuk masyarakat luas.
Analogi bathtub adalah jumlah CO2 di udara sama dengan jumlah air di bathtub yakni jika kita terus mengisinya lebih cepat daripada habis, maka berdasarkan hukum fisika dasar, air tersebut akan naik sampai meluap.
"Sama seperti mempersiapkan pilot untuk kemungkinan kecelakaan, simulasi membantu mengajar dan melatih pilot sehingga mereka dapat membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mencegah kecelakaan.