TRIBUNNEWS.COM, ADDIS ABABA - Pasukan kelompok etnis Tigrayan mengklaim mereka telah merebut kota strategis lain di wilayah Amhara Ethiopia.
Para pejuang merebut Kombolcha dan bandaranya. Pernyataan disampaikan Getachew Reda, juru bicara Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), Minggu (31/10/2021) waktu setempat.
Direbutnya Kombolcha akan menjadi keuntungan strategis bagi para pejuang Tigrayan melawan militer Ethiopia dan sekutunya, yang berusaha mengusir Tigrayan dari wilayah Amhara.
Kota besar itu berjarak sekitar 380 km (235 mil) dari ibu kota, Addis Ababa, dan merupakan wilayah selatan terjauh di Amhara yang telah dicapai TPLF sejak memasuki wilayah tersebut pada Juli.
Baca juga: Pemberontak Tigray Tolak Tinggalkan Situs UNESCO
Baca juga: PM Ethiopia Klaim Pasukan Pemerintah Telah Kendalikan Ibu Kota Kekuasaan Tigray
Baca juga: Pengungsi Perang Tigray Bertahan Hidup dalam Pengasingan di Sudan
Ini menunjukkan TPLF sedang menuju lebih dekat ke ibukota Ethiopia. Konflik yang menyebar mengancam untuk semakin mengacaukan negara terpadat kedua di Afrika itu.
Perdana Menteri Abiy Ahmed mendesak warga bergabung dalam perang melawan TPLF setelah pasukan Tigrayan mengatakan mereka merebut jalur strategis yang menghubungkan ibu kota negara yang terkurung daratan itu dengan pelabuhan Djibouti.
“Rakyat kita harus berbaris … dengan senjata dan sumber daya apa pun yang mereka miliki untuk membela, memukul mundur, dan mengubur teroris TPLF,” kata Abiy dalam sebuah posting Facebook.
Pertarungan sengit
Saksi mata mengatakan pertempuran senjata baru juga sedang berlangsung di kota utama Dessie dengan pasukan Ethiopia memerintahkan penduduk untuk tinggal di dalam rumah.
Meskipun dilaporkan mundur sehari sebelumnya, Getachew mengatakan pejuang TPLF merebut Dessie pada Sabtu.
Juru bicara pemerintah Legesse Tulu menolak klaim TPLF merebut dua kota utara yang strategis, dengan mengatakan tentara masih berjuang untuk menguasai.
“Saat ini ada pertempuran sengit di front Dessie dan Kombolcha,” kata Legesse. Sebagian besar Ethiopia utara berada di bawah pemadaman komunikasi dan akses bagi wartawan dibatasi.
Ini membuat klaim dari medan perang sulit untuk diverifikasi secara independen. Di Dessie, penduduk berbicara tentang mendengar suara tembakan saat bersembunyi di rumah mereka.
Desta, mantan pramusaji yang hanya menyebutkan nama depannya, mengaku melihat pasukan bertempur di jalanan.
Mohammed, warga lain yang juga menolak menyebutkan nama keluarganya, mengatakan kepada kantor berita AFP pasukan pemerintah meminta warga tidak keluar rumah.
"Mereka menembak tetapi saya harus menutup jendela saya ... agar tidak ketahuan," katanya. “Tentara memberi tahu kami mereka berjuang untuk merebut kota itu lagi.”
Pertarungan menyebar
Penduduk sebelumnya melaporkan penumpukan militer yang besar di Dessie, sekitar 400 km (250 mil) utara Addis Ababa.
Warga sipil melarikan diri dari kota-kota yang dilanda konflik lebih jauh ke utara mengalir ke kota untuk mencari perlindungan.
Saat pertempuran meletus di Dessie, banyak orang masuk ke dalam bus dan melarikan diri ke Kombolcha pada Sabtu.
“Kami melihat TPLF masuk melalui jalan utama di pagi hari, kami berlari ke rumah kami,” kata seorang warga berusia 32 tahun yang hanya menyebut namanya Tadesse.
Pemberontak tampaknya terlibat dalam baku tembak dengan pejuang Amhara dan tentara Ethiopia, katanya.
Wilayah Amhara memperbaharui seruan bagi penduduk untuk mendaftar untuk melindungi lingkungan mereka, sementara juru bicara pemerintah meminta warga ikut berperang.
“Setiap warga negara Etiopia yang mampu berperang harus dimobilisasi,” katanya. AS menyerukan agar semua pihak tenang.
Washington meminta pasukan Tigrayan menghentikan kemajuan mereka di dalam dan sekitar Dessie dan Kombolcha, mundur dari Amhara dan Afar, dan tidak menggunakan artileri terhadap kota-kota.
Dalam sebuah pernyataan, AS mendesak kedua belah pihak untuk memulai negosiasi gencatan senjata, dengan mengatakan tidak ada solusi militer untuk konflik ini.
Konflik meletus sejak November 2020 ketika Perdana Menteri Abiy Ahmed mengerahkan pasukan ke Tigray guna memadamkan perlawanan kelompok Tigrayan.
Operasi militer itu berubah spiral menjadi perang berkepanjangan yang ditandai pembantaian, pemerkosaan massal, dan krisis kemanusiaan.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2019 mengatakan operasi itu sebagai tanggapan atas serangan terhadap kamp-kamp tentara oleh TPLF.
Dia menjanjikan kemenangan cepat, tetapi pada akhir Juni pemberontak telah merebut kembali sebagian besar Tigray dan pertempuran menyebar ke wilayah tetangga Amhara dan Afar.(Tribunnews/com/Aljazeera/xna)