TRIBUNNEWS.COM - Palestina mengecam penolakan Israel tentang pembukaan kembali konsulat Amerika Serikat (AS) di Yerusalem Timur yang diduduki, Minggu (7/11/2021).
Pembukaan konsulat ini sebagai upaya yang akan memulihkan misi diplomatik utama Washington dengan Palestina.
Dikutip dari Al Jazeera, pemerintahan Trump menutup konsulat AS di Yerusalem, sebuah kantor yang selama bertahun-tahun berfungsi sebagai kedutaan de facto untuk Palestina.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken telah berjanji untuk membukanya kembali, sebuah langkah yang menurut Israel akan menantang kedaulatannya atas kota itu.
Pembukaan kembali dapat membantu memperbaiki hubungan AS dengan kepemimpinan Palestina, yang pecah di bawah Trump.
Baca juga: Pasukan Israel Tembak Mati Bocah Palestina Berusia 13 Tahun di Tepi Barat
Baca juga: AS Mengecam Rencana Israel Perluas Pemukiman di Wilayah Palestina yang Diduduki di Tepi Barat
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan pihaknya memandang pembukaan kembali konsulat sebagai bagian dari komitmen komunitas internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel selama puluhan tahun atas wilayah yang dicari Palestina untuk masa mendatang.
“Yerusalem Timur adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Palestina yang diduduki dan merupakan ibu kota negara Palestina.
"Israel, sebagai kekuatan pendudukan, tidak memiliki hak untuk memveto keputusan pemerintah AS,” kata pernyataan itu.
Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett pada Sabtu (6/11/2021), mengatakan tidak ada ruang di Yerusalem untuk misi tersebut.
"Tidak ada ruang untuk konsulat Amerika lainnya di Yerusalem," katanya.
“Yerusalem adalah ibu kota satu negara dan itu adalah negara Israel.”
Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid menyarankan konsulat justru bisa dibuka di pusat administrasi Palestina di Ramallah, Tepi Barat yang diduduki.
Pada Sabtu, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak komentar Lapid.
“Kami hanya akan menerima konsulat AS di Yerusalem, ibu kota negara Palestina. Itulah yang telah diumumkan dan telah dilakukan oleh pemerintah AS," kata Nabil Abu Rudeineh kepada kantor berita Reuters.