News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Paling Berdarah di Sudan, Demo Anti-kudeta Tewaskan 15 Orang

Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Pravitri Retno W
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penentang kudeta militer Sudan turun ke jalan-jalan di ibu kota Khartoum, pada 17 November 2021, hari paling berdarah sejak pengambilalihan militer pada 25 Oktober. 15 demonstran tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

TRIBUNNEWS.COM - Sedikitnya 15 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam demo anti-kudeta di Sudan.

Total korban tewas, yakni 39 orang, selama protes terhadap militer Sudan yang merebut kekuasaan pada 25 Oktober 2021.

Dilansir Al Jazeera, demo yang menewaskan 15 orang terjadi di ibu kota Khartoum.

Para pengunjuk rasa berbaris di lingkungan Khartoum dan Kota Omdurman pada Rabu (17/11/2021).

Pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan gas air mata setelah saluran komunikasi telepon seluler terputus pada Selasa (16/11/2021).

Namun, polisi membantah menggunakan peluru tajam.

Baca juga: Berita Foto : Bentrokan Berdarah Penentang Kudeta Militer Sudan

Baca juga: Di Tengah Pro dan Kontra di Negerinya, PM India Ajak Negara Demokrasi Manfaatkan Mata Uang Kripto

Sementara, televisi pemerintah telah mengumumkan penyelidikan atas kematian tersebut.

Serikat dokter mengatakan sebagian besar korban menderita luka tembak di kepala, leher, dan dada.

Tetapi, para demonstran tetap melakukan demo di belakang barikade.

Dalam sebuah pernyataan, Komite Sentral Dokter Sudan (CCSD) mengatakan pasukan keamanan menggunakan peluru tajam.

"(Pasukan keamanan) menggunakan peluru tajam di berbagai wilayah di ibu kota dan ada puluhan (terkena) luka tembak, beberapa di antaranya dalam kondisi serius," katanya.

CCSD juga mengatakan pasukan keamanan telah menangkap orang-orang yang terluka di dalam rumah sakit Khartoum.

Asosiasi Profesional Sudan mengecam kejahatan besar terhadap kemanusiaan dan menuduh pasukan keamanan melakukan pembunuhan terencana.

“Pembantaian hari itu memperkuat slogan kami: tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, tidak ada kompromi (dengan militer),” kata penyelenggara protes dari SPA.

Penentang kudeta militer Sudan turun ke jalan-jalan di ibu kota Khartoum, pada 17 November 2021, hari paling berdarah sejak pengambilalihan militer pada 25 Oktober. - Pasukan keamanan Sudan menembak mati sedikitnya 10 pengunjuk rasa anti-kudeta dan melukai lusinan lainnya hari ini, kata petugas medis. Korban tewas, semuanya di Khartoum, terutama distrik utaranya, menambah 34 korban tewas akibat kerusuhan sejak militer merebut kekuasaan, sebuah pro- kata serikat dokter demokrasi. (Photo by AFP) (AFP/-)

Beberapa pengunjuk rasa membawa foto-foto orang yang telah terbunuh dalam protes sebelumnya dan Abdalla Hamdok, perdana menteri sipil yang ditempatkan di bawah tahanan rumah selama kudeta.

Mereka membawa foto dengan slogan: "Legitimasi datang dari jalan, bukan dari meriam."

Gambar protes di kota-kota besar dan kecil termasuk Port Sudan, Kassala, Dongola, Wad Madani, dan Geneina diposting di media sosial.

Para demonstran turun ke jalan menentang tindakan keras pasukan keamanan yang telah menewaskan puluhan orang sejak militer merebut kekuasaan bulan lalu.

Para pengunjuk rasa menuntut penyerahan penuh kepada pemerintahan sipil dan agar para pemimpin kudeta diadili di pengadilan.

Baca juga: Ibu Kota Negara Afrika Ini Diguncang Serangan Bom Bunuh Diri Kelompok ISIS, 3 Orang Tewas

Baca juga: Gerombolan Burung Beo Terbang di Beberapa Daerah Tokyo Mulai Resahkan Warga Jepang

Jenderal tertinggi Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, mengumumkan keadaan darurat pada 25 Oktober.

Dia membubarkan pemerintah dan menahan para pemimpin sipil.

Pekan lalu, al-Burhan menunjuk Dewan Penguasa yang baru, menggantikan pemerintah transisi negara itu, yang terdiri dari tokoh-tokoh sipil dan militer.

Itu dibentuk pada 2019 sebagai bagian dari perjanjian pembagian kekuasaan antara anggota tentara dan warga sipil dengan tugas mengawasi transisi Sudan ke demokrasi setelah pemberontakan rakyat yang menyebabkan penggulingan penguasa lama Omar al-Bashir.

(Tribunnews.com/Yurika)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini