Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pemerintah Jepang akan mengeluarkan obligasi guna pembiayaan defisit senilai 22,1 triliun yen terungkap hari Rabu ini (24/11/2021).
Terkait anggaran tambahan tahun ini, diketahui pemerintah berencana menerbitkan obligasi defisit pembiayaan sebesar 22,1 triliun yen.
Keuangan akan semakin ketat. Dengan langkah-langkah ekonomi baru pemerintah, pengeluaran fiskal telah mencapai rekor tertinggi 56 triliun yen.
Pada tanggal 26 November, pemerintah akan membuat keputusan kabinet tentang anggaran tambahan untuk tahun ini untuk mendukung langkah tersebut.
Akun umum adalah 36 triliun yen, di mana ukuran ekonomi adalah 31,6 triliun yen.
Untuk pendapatan, surplus 6,1 triliun yen yang tidak digunakan tahun lalu dan perkiraan penerimaan pajak 6,4 triliun yen akan dicatat.
"Tetapi 60% dari pengeluaran masih tidak mencukupi, sehingga obligasi pembiayaan defisit adalah 22,1 triliun yen terpaksa harus dikeluarkan," ungkap sumber Tribunnews.com Rabu (24/11/2021).
Akibatnya, jumlah penerbitan obligasi pemerintah tahun ini akan meningkat sekitar 1,5 kali dari tahap anggaran awal, dan tingkat kemerosotan keuangan publik akan semakin dalam.
Diskusi mengenal hal ini dapat diikuti bersama lewat email: info@tribun.in bersama para pecinta Jepang.
"Berat memang beban perekonomian Jepang saat ini dengan obligasi (surat utang pemerintah) sebesar 1.216 triliun yen yang berarti 256,2 persen dari GDP," papar Keiichi Kaya (52), ahli ekonomi Jepang, Selasa (19/10/2021).
Keiichi Kaya (52) adalah lulusan Universitas Tohoku yang pernah menjadi konsultan pemerintah Jepang.
Menurut Keiichi Kaya, sekitar 20 tahun lalu inflasi di Jepang masih bisa terkendali sehingga beban berat utang masih bisa dikendalikan dengan baik.
"Namun kini dengan munculnya pandemi corona, serta kesulitan kehidupan masyarakat Jepang saat ini perlu dibantu dengan berbagai subsidi, semakin menambah beban berat perekonomian Jepang, sehingga surat utang tampaknya harus diterbitkan lebih banyak lagi," tambahnya.
Belum lagi dengan perdagangan ekspor impor yang masih lesu, serta friksi perdagangan di luar negeri, termasuk kenaikan harga minyak saat ini, semakin menyulitkan posisi perekonomian Jepang.
"Memang umumnya utang tersebut beredar kebanyakan di dalam negeri Jepang sehingga banyak terbantu pemerintah dalam mengelola perekonomian saat ini. Meskipun demikian tetap saja perekonomian sudah harus lebih hati-hati," ujarnya.
Dibandingkan dengan Yunani yang utang pemerintahnya 90 persen dipegang negara lain, begitu terjadi krisis ekonomi mengakibatkan kehancuran perekonomian negara tersebut dengan cepat.