Sementara itu dilansir dari media terkemuka Malaysia, The Star, China menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dalam nota diplomatik dengan alasan bahwa itu terjadi di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari perairan tradisional milik mereka.
Nota protes China dikirim beberapa bulan lalu saat kapal penelitiannya melintasi bagian Laut China Selatan yang menurut Indonesia adalah bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di lepas pantai Kepulauan Natuna.
"Argumen (China) mereka adalah bahwa lokasi pengeboran melanggar batas Nine-Dash Line," kata anggota DPR Muhammad Farhan, merujuk pada jalur yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan.
"Tentu saja pemerintah Indonesia menolak (klaim) itu karena kami berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut," katanya.
Indonesia tidak melihat dirinya sebagai pihak dalam bersengketa di Laut China Selatan, karena menganggap memiliki klaim hak maritim di perairan lepas Kepulauan Natuna.
Kapal Indonesia dan China beberapa kali mengalami gesekan di perairan di bagian selatan Laut China Selatan.
Pada tahun 2017, Indonesia mengganti nama wilayah Laut Natuna Utara, memicu protes dari China, yang menyatakan bahwa itu adalah daerah penangkapan ikan tradisionalnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah saat dikonfirmasi kebenaran protes tersebut mengatakan bahwa protes tertulis itu bersifat tertutup.
Sehingga ia tidak mengkonfirmasi lebih jauh soal protes tersebut.
“Saya tidak bisa mengkonfirmasi berita yang beredar tersebut. Komunikasi diplomatik, terlebih lagi yang tertulis bersifat tertutup dan sesuai ketentuan baru bisa dibuka ke publik setelah periode yang lama. Jadi saya tidak bisa konfirmasi berita tersebut dan juga yang menjadi rujukan komunikasi yang dimaksud,” ujarnya saat dihubungi hari Kamis (2/12/2021).
China semakin menunjukkan sikap asertif
Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik itu kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna.
Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.
Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.