Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pemerintah Jepang telah mengumumkan tidak akan mengirimkan pejabat pemerintah ke Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Beijing pada Februari 2022.
Sekaligus menekankan bahwa Jepang tidak mau disebut sebagai Boikot Diplomatik. Kalangan bsinis Jepang pun setuju akan hal itu.
"Komunitas bisnis tampaknya secara umum bersikap positif untuk menghindari ungkapan "boikot diplomatik" yang merangsang China. Ini karena banyak perusahaan domestik tidak dapat berdiri tanpa bisnis China, yang memiliki pasar besar 1,4 miliar orang," ungkap sumber kalangan bisnis Jepang kepada Tribunnews.com, Minggu (26/12/2021).
"Ini adalah keputusan yang baik untuk tidak mengatakan bahwa kita harus berhati-hati berpartisipasi dalam Olimpiade karena masalah hak asasi manusia," ujarnya.
Kengo Sakurada, Sekretaris Jenderal Keizai Doyukai (asosiasi eksekutif perusahaan Jepang), mengevaluasi pada konferensi pers pada tanggal 24 Desember 2021 setelah menerima pernyataan pemerintah.
"Saya tidak berpikir akan menjadi kepentingan nasional untuk mengklarifikasi bendera di pesta olahraga itu," papar Sakurada.
"Saya akan menyerahkannya kepada pemerintah. Saya tidak bisa mengatakan apa-apa lagi," ungkap
Hiroshi Ozaki, Ketua Kamar Dagang dan Industri Osaka pada konferensi pers 22 Desember lalu.
Baca juga: Soal Boikot Olimpiade Beijing, Jepang Pertimbangkan Masalah Hak Asasi Manusia di China
Lima wakil ketua Daisho, termasuk Ketua Akihiro Kuroda dari KOKUYO--yang dikenal sebagai komentator--juga hadir, tetapi tidak ada yang berbicara tentang masalah ini.
Di balik boikot diplomatik yang dilakukan Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Kanada, adalah adanya tindakan keras terhadap hak asasi manusia di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang China dan Hong Kong.
"Wajar kalau mereka melakukan protes keras berupa boikot diplomatik," ungkap sumber itu.
"Jika Anda berbicara tentang hal-hal ekstra dan terjebak dalam pemerintahan China, ekspor ke China dan penjualan lokal mungkin tiba-tiba dibatasi. Periksa TV Jepang, surat kabar, dan berita online secara rinci. Hal ini jelas akan jadi semakin ribut nantinya," kata eksekutif bisnis Jepang.
"Saya pikir tidak apa-apa untuk mencari sesuatu yang dapat dilihat dari salah satu negara (AS atau China) dan menyebutnya secara ambigu," kata Ketua Keidanren Masakazu Tokura.
Menurut statistik perdagangan Kementerian Keuangan, mitra dagang terbesar Jepang adalah China.
Dilihat dari jumlah total impor dan ekspor menurut negara/wilayah, pada tahun kedua Reiwa (2020), transaksi dengan China adalah 32 triliun yen, 1,6 kali lipat dari Amerika Serikat (20 triliun yen).
Proporsi China begitu besar sehingga menyumbang hampir seperempat dari total.
Pada tanggal 1 Januari 2004, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), di mana Jepang, China dan Korea Selatan serta Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berpartisipasi, akan mulai berlaku.
Karena ini adalah perjanjian perdagangan pertama Jepang dengan China.
Baca juga: China Beri Peringatan Keras Setelah Negara-negara Barat Boikot Diplomatik Olimpiade Beijing
Ada beberapa spekulasi bahwa "pernyataan boikot diplomatik tidak ingin diliputi oleh intensifikasi perdagangan dengan China."
Namun, di dunia bisnis, tumbuh rasa kehati-hatian terkait "keamanan ekonomi" seperti tuntutan yang berlebihan untuk transfer teknologi dari otoritas China dan kebocoran informasi, serta tumbuhnya penentangan terhadap "Diplomasi Prajurit Serigala" yang mengancam pihak lain.
Selain itu, jika penindasan China terhadap hak asasi manusia dibicarakan, ada kekhawatiran besar bahwa hal itu tidak akan dievaluasi oleh investor dan akan menimbulkan tentangan keras dari kaum konservatif domestik.
Meskipun dunia bisnis sangat tertekan, suara-suara mulai mengatakan, "Pelanggaran hak asasi manusia China harus disalahkan, tentu saja."
"Saya tidak ingin kata boikot diplomatik berjalan sendiri, tetapi (dalam arti protes) lebih baik tidak mengirim perwakilan pemerintah," kata Kyoko Ikoma, Sekretaris Jenderal Kansai Keizai Doyukai pada konferensi pers, 23 Desember 2021.
Selain itu, tahun depan akan menjadi peringatan 50 tahun normalisasi hubungan diplomatik antara Jepang dan China.
Ke depan, perilaku perusahaan sponsor Olimpiade Beijing di Jepang dan luar negeri juga akan menjadi fokus.
Karena penyebaran virus corona baru, beberapa perusahaan menahan diri dari iklan TV di Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo musim panas ini.
Baca juga: Inggris, AS, dan Australia Boikot Olimpiade Beijing 2022, China: Mereka akan Terima Konsekuensinya
Harapan untuk Olimpiade Beijing tinggi karena investasi besar tidak banyak berpengaruh, tetapi kekecewaan mulai menyebar.
"Ini bukan lagi suasana yang menggairahkan suasana Olimpiade, dan kami dipaksa untuk membuat keputusan yang sulit," ujarnya.
Sementara itu beasiswa (ke Jepang), belajar gratis di sekolah bahasa Jepang di Jepang, serta upaya belajar bahasa Jepang yang lebih efektif melalui aplikasi zoom terus dilakukan bagi warga Indonesia secara aktif dengan target belajar ke sekolah di Jepang. Info lengkap silakan email: info@sekolah.biz dengan subject: Belajar bahasa Jepang.