TRIBUNNEWS.COM - Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendesak para pemimpin dunia untuk meningkatkan tekanan pada Junta Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Ia juga mengimbau agar pemerintahan sipil segera kembali normal.
Dilansir Al Jazeera, Kepala HAM PBB Michelle Bachelet mengatakan, meski ada kecaman internasional atas kudeta Junta Myanmar, menurutnya tanggapan internasional terhadap krisis Myanmar tidak efektif.
"Tidak ada urgensi sepadan dengan besarnya krisis," ungkapnya.
Baca juga: Situasi Memburuk, Perusahaan Migas Besar Australia Cabut dari Myanmar
Baca juga: Presiden Jokowi Bahas Situasi Myanmar Saat Bertemu PM Singapura di Bintan
"Sudah waktunya memulihkan hak asasi manusia dan demokrasi di Myanmar dan memastikan para pelaku pelanggaran dimintai pertanggungjawaban," tegasnya.
Mantan presiden Chili itu menyebut, Dewan Keamanan PBB dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara tidak berbuat cukup untuk meyakinkan para pemimpin kudeta memfasilitasi akses kemanusiaan.
Bachelet mengatakan ia telah berbicara dengan para pembela kebebasan sipil di Myanmar yang memohon kepada masyarakat internasional untuk tidak meninggalkan mereka.
“Saya mendesak pemerintah – di kawasan dan sekitarnya – serta bisnis, untuk mendengarkan permohonan ini,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Baca juga: Sunoto Siap Hadapi Petarung Myanmar Tial Thang Di Arena One Championship Tanggal 11 Februari 2022
Baca juga: Jokowi Kembali Tegaskan Pentingnya Implementasi 5 Butir Konsensus ASEAN untuk Masalah Myanmar
Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari tahun lalu, menggulingkan pemerintah sipil dan menangkap pemimpin de factonya, Aung San Suu Kyi.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan bahwa sejak kudeta, setidaknya 1.500 orang telah dibunuh oleh militer dalam upaya brutal untuk menghancurkan perbedaan pendapat.
Sementara, ribuan lainnya akan terbunuh dalam konflik bersenjata dan kekerasan yang lebih luas.
Setidaknya 11.787 orang telah ditahan secara sewenang-wenang karena menyuarakan penentangan mereka terhadap militer, kata kantor itu, di antaranya 8.792 masih dalam tahanan.
Sedikitnya 290 orang tewas dalam tahanan, banyak kemungkinan karena penggunaan penyiksaan.
Berita lain terkait dengan Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)